Rabu, 09 Desember 2015

Sekilas Tentang Bentuk Usaha Tetap (BUT)



Pendahuluan
Mendengar kata Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) pikiran akan terbayang tentang perusahaan asing yang beroperasi di dalam negeri. Namun yang sering kita lupa adalah bahwa perlakuan perpajakannya  sama dengan perusahaan badan hukum dalam negeri. Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disebut BUT dalam tulisan ini) adalah subjek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak badan dalam negeri lainnya (baik formal maupun material). Perbedaan mendasar dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri adalah BUT tidak dapat menikmati tax treaty antara Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena bukan penduduk Indonesia dan atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan branch profit tax.
Efek globalisasi yang diwarnai dengan tumbuhnya kawasan bebas perdagangan, jasa dan modal maka transaksi internasional di dalam negeri pun bertumbuh dengan pesatnya . Tak dapat dipungkiri dan dibendung dengan  masuknya banyak investasi asing baik dalam bentuk portfolio investment dan foreign direct investment yang berimplikasi luas bagi suatu negara termasuk Indonesia.
Dalam melakukan investasi,  investor asing dapat melakukannya dalam bentuk joint venture (investasi dalam bentuk pembiayaan) yang pada umumnya perusahaan berbentuk penanaman modal asing dan berbadan hukum Indonesia sehingga merupakan wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer). Disamping itu perusahaan asing dapat menjalankan usaha di Indonesia melalui BUT dimana bukan merupakan badan hukum Indonesia yang artinya BUT adalah bukan wajib pajak dalam negeri.
Suatu Pengertian
Dalam Pasal 5 OECD Model (2003) BUT atau Permanent  Establishment (selanjutnya disebut PE dalam tulisan ini) dalam ayat 1 dikatakan : For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on. Ayat 2 dikatakan : The term “permanent establishment” includes especially: a) a place of management; b) a branch; c) an office; d) a factory; e) a workshop, and f) a mine, an oil or gas well, a quarry or any other place of extraction of natural resources. Ayat 3 dikatakan : A building site or construction or installation project constitutes a permanent establishment only if it lasts more than twelve months.
Sejalan dengan pengertian tersebut, berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat 5 UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dijelaskan bahwa Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi (nature person) yang tidak bertempat tinggal atau badan (legal person) yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Dalam tax treaty model OECD, pengecualian BUT yaitu sebagai berikut :
1.       Apabila perusahaan suatu negara dari suatu negara treaty partner menjalankan kegiatan-kegiatan yang terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut : 1). Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dimaksudkan untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan. 2). Pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan atau diolah lebih lanjut oleh perusahaan lain. 3). Pengurusan tempat usaha tetap semata-mata dimaksudkan untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan , mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan, untuk tujuan perikalanan, memberikan informasi atau untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun penunjang bagi perusahaan.
2.       Apabila perusahaan tersebut menjalankan melalui agen yang bertindak bebas tanpa adanya instruksi dari perusahaan di luar negeri semisal makelar, komisioner umum.
3.       Apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty partner yang menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya atau menjalankan usaha di negara treaty lainnya.
 Objek Pajak BUT
Cakupan penghasilan BUT  di Indonesia sesuai pasal 5 ayat (1) Undang undang Pajak Penghasilan, meliputi :
1.       Atribusi Faktual: penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Pasal 5 ayat (1) huruf a).
2.       “Force of Attraction”: penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (Pasal 5 ayat (1) huruf b).
3.       Atribusi karena hubungan efektif: penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. (Pasal 5 ayat (1) huruf c).
Time Test 
BUT merupakan cabang perusahaan, atau tempat kedudukan manajemen, kantor, pabrik, tempat kerja atau suatu hak penambangan dan kekayaan alam lainnya. Dalam pengertian ini juga termasuk proyek pembuatan gedung atau konstruksi yang dilakukan dan melewati tes waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang di negara domisili, di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat 5 bahwa untuk dianggap BUT, apabila mereka melakukan kegiatan di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, sedangkan untuk pemberian jasa, waktu tes yang diberikan untuk menjadi BUT apabila jasa yang diberikan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Sedangkan, untuk penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali dalam hal dibawah ini, dimana penghasilan itu dapat juga dikenai pajak di Negara pada persetujuan lainnya :
1.       Jika ia mempunyai suatu tempat tertentu yang tersedia secara teratur dipergunakan untuk menjalankan pekerjaan di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan itu, penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara Pihak lainnya itu tetapi hanya bagian penghasilan yang dianggap berasal dari tempat tertentu itu ; atau
2.       Jika ia tinggal di Negara Pihak lainnya itu selama suatu masa atau masa masa yang tidak melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang mulai atau berakhir pada satu tahun pajak, dalam hal ini hanya penghasilan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Negara lain itulah yang akan dikenakan pajak di Negara Pihak lainnya itu.
Dengan demikian suatu usaha yang dilakukan oleh penduduk asing di Negara Indonesia harus ditentukan saat kapan mereka menjadi Bentuk Usaha Tetap atau Tempat Usaha Tetap.
Kewajiban Pajak Subjektif : Dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap. Berakhir pada saat orang pribadi atau badan tidak lagi menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap (Pasal 2A ayat (3) UU PPh).
Penghasilan Dan Biaya BUT
BUT merupakan perusahaan yang memiliki pusat di luar negeri, namun untuk BUT nya sendiri diperlakukan sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri. Sebagaimana perusahaan pada umumnya di dalam negeri, setiap penghasilan yang diterima BUT tidak selamanya Obyek Pajak. Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
1.       Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
2.       Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
3.       Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud.
Atas penghasilan kantor pusat yang digabung ke BUT Indonesia, jika telah dilakukan pemotongan oleh pihak lain, maka PPh Pasal 26 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan atau menjadi tidak final. (berdasarkan atas pasal 26 ayat 5 huruf a Undang-undang PPh). Sedangkan biaya yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto atas obyek BUT adalah sebagai berikut :
§  Biaya-biaya yang terkait dengan kegiatan usaha BUT.
§  Biaya-biaya yang terkait sehubungan dengan penghasilan dari kantor pusat yang penghasilannya dihitung kembali di BUT.
§  Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Dirjen Pajak No.62/PJ./1995.
§  Biaya administrasi tersebut maksimal sebanding dengan besarnya peredaran usaha BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha perusahaan di seluruh dunia.
Dengan demikian dibutuhkan laporan keuangan konsolidasi yang  meliputi seluruh usaha atau kegiatan diseluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan dan harus diaudit oleh Akuntan Publik yang mengungkapkan rincian peredaran usaha perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan pada masing-masing BUT di negara tempat BUT tersebut berada.
Pembayaran kantor pusat yang tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah :
1.       Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2.       Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3.       Bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
4.       Berdasarkan atas SE-08/PJ.42/2000, tanggal 18 April 2000 menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai rupiah pada perkiraan hutang kepada kantor pusat suatu Bentuk Usaha Tetap tidak diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya atau diakui sebagai penghasilan bagi BUT yang bersangkutan;
5.       Pembayaran yang diterima atas Imbalan, Bunga dan Royalti yang diterima oleh Kantor Pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Berdasarkan uraian diatas, katagori penghasilan yang dimasukkan ke dalam BUT adalah sebagai berikut :
§  Berdasarkan penghasilan dimana dia peroleh labanya.
§  Berdasarkan penarikan penghasilan kantor pusat ke BUT di Indonesia, apabila terjadi usaha yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, hal ini agar tidak terjadi pengelakan pajak yang timbul akibat penghasilan dari Indonesia.
§  Dikenakan withholding tax PPh Pasal 26, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud.
Hal ini dilakukan, agar pembayaran dividen, royalti, bunga dan imbalan jasa lainnya, tidak dimanfaatkan sebagai dividen terselubung, sehingga tetap dikenakan PPh Pasal 26, namun bukan merupakan obyek BUT di Indonesia. Untuk usaha perbankan karena terdapat hubungan efektif antara obyek bunga dengan usaha perbankan, maka atas PPh Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor oleh BUT Indonesia dapat dikreditkan pada PPh terutang akhir tahun dalam BUT-nya, sedangkan penghasilan bunga tersebut menjadi obyek pajak di BUT Indonesia.
Perhitungan Pajak BUT
Penggabungan atau konsolidasi dari usaha BUT dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis). (Kep-DJP No.62/PJ./1995). Penghitungan laba bersih setelah pajak diperlakukan berbeda dengan usaha dalam negeri, karena masih terkait dengan Subyek Pajak Luar Negeri. Penghasilan setelah pajak apabila di transfer ke luar negeri diterapkan tarif 20% x Penghasilan bruto, atau mengacu ketentuan P3B.
Atas Penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh Badan usaha BUT pada akhir tahun pajak yang ditanamkan kembali di Indonesia, tidak dikenakan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 4 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan  No. 14/PMK. 03/2011.
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak PT. ABC. INC (BUT) di Indonesia Tahun 2009 adalah sebesar Rp 17.500.000.000,-
Perhitungan PPh Terutang:
 28% x Rp 17.500.000.000  = Rp 4.900.000.000
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak adalah
Rp 12.600.000.000,- (Rp 17.500.000.000-Rp 4.900.000.000)
PPh Pasal 26 yang terutang =
20% x Rp 12.600.000.000 = Rp 2.520.000.000,-
(Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 12.600.000.000,- tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong PPh).
Contoh Bentuk Usaha Tetap Dan Aspek Perpajakannya
Bubble Gum Corp  adalah perusahaan yang didirikan di  Amerika  karena perkembangan di Indonesia cukup baik maka yang sebelumnya hanya  Representative Office (2009 s.d 2010) dimana dalam  melakukan penjualan hanya melalui distributor resmi maka ingin  diubah menjadi cabang (Branch). Pada Bulan Juli 2010  perusahaan mengirimkan 2 (dua) Karyawan untuk mempersiapkan kantor cabang baru. Kedua karyawan tinggal di Indonesia sampai dengan Desember 2010. Pada awal 2011 Bubble Gum Corp resmi dibuka.
Pada awal 2011 Bubble Gum Corp resmi membuka cabang di Indonesia dengan membukukan omset sbb: 1).  Penjualan  Rp. 170.000.000.000, 2).  HPP           Rp. 140.000.000.000, 3).   Biaya Umum  Rp. 110.000.000.000,-.
Menyangkut biaya umum dan administrasi, diketahui hal-hal sebagai berikut:
1.       Di dalam Biaya Umum dan Administrasi terdapat gaji dua orang karyawan kantor pusat yang mengawasi pendirian perusahaan dan operasi perusahaan pada tahun pertama. Gaji kedua karyawan tersebut adalah sebesar Rp 100 Juta.
2.       Terdapat pembayaran bunga kepada kantor pusat atas sejumlah dana yang dipinjamkan kepada Bubble Gum Corp. Besarnya pembayaran bunga adalah sebesar Rp 500.000.000.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam contoh kasus tersebut di atas adalah sebagai berikut :
§  Melihat Tax Treaty dengan negara Amerika Serikat. Berdasarkan Tax Treaty antara Indonesia dengan   Amerika Serikat article 5   ayat 3(e), yang   berbunyi: “Menyimpang dari ketentuan-ketentuan   ayat (1) dan (2) ,  suatu bentuk usaha tetap tidak   dianggap ada sehubungan   dengan hal-hal berikut:   pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-  mata   untuk tujuan periklanan,  penyediaan informasi, riset   ilmiah,   atau untuk kegiatan-kegiatan serupa yang bersifat sebagai kegiatan   persiapan   atau kegiatan   penunjang, bagi keperluan   penduduk.
§  Antara tahun 2009 s.d 2010, Bubble Gum Corp bertindak sebagai representative yang tidak melakukan kegiatan penjualan dan hanya melakukan kegiatan untuk tujuan periklanan seperti menyediakan brosur, display barang-barang hasil produksi perusahaan. Maka saat itu , Bubble Gum Corp belum memiliki BUT di Indonesia.
§  Walaupun 2 (dua) orang karyawan yang tinggal di Indonesia sejak Juli s.d Desember 2010 tetap belum bisa dikatakan sebagai BUT karena tujuan kedua karyawan tersebut adalah dalam rangka persiapan pembukaan cabang.
§  Pada Tahun 2011, Bubble Gum Corp secara resmi membuka cabang di Indonesia.  Berdasarkan Tax Treaty Indonesia Amerika  article 5 ayat 2 (b), yang berbunyi : Istilah BUT meliputi dan tidak terbatas pada : Cabang. Maka Bubble Gum Corp sejak 2011 adalah BUT di Indonesia.
§  Berdasarkan tax treaty Indonesia dengan Amerika  pasal 8 ayat 3 mengatakan ;  Dalam menentukan besarnya laba BUT, dapat dikurangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan laba termasuk biaya –biaya pimpinan dan administrasi umum…. Tidak diperkenankan untuk dikurangkan dengan biaya-biaya , jika ada, yang dibayarkan (selain pengganti biaya-biaya yang benar-benar terjadi) oleh BUT kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya, dalam bentuk royalty, ongkos atau pembayaran serupa lainnya sehubungan dengan penggunaan  paten atau hak-hak lain atau dalam bentuk komisi untuk jasa-jasa tertentu atau untuk manajemen  atau dalam bentuk bunga  atas uang yang dipinjamkan  kepada BUT tersebut.

§  Berdasarkan tax treaty tersebut maka akan terlihat sebagai berikut : 1). Peredaran usaha  Rp. 170.000.000.000, 2). HPP  (Rp.  140.000.000.000), 3). Biaya Umum  (Rp. 109.500.000.000). Karena BGC  mengalami kerugian maka  tidak ada pemotongan PPh pada tahun 2011. Kerugian dapat dikompensasikan selama 5 tahun yang kompensasi mulai berlaku tahun 2012.

Senin, 23 November 2015

Macam-Macam Rehabilitasi Narkotika


Pada dasarnya, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika(“UU Narkotika”) dikenal 2 (dua) macam rehabilitasi narkotika, yaitu:
1.    Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.[1]
2.    Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.[2]

Pihak yang Direhabilitasi Narkotika
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[3] Hal ini diperjelas dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (“Peraturan BNN 11/2014”) yang mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.

Waktu Diputuskannya Rehabilitasi
Putusan hakimlah yang menentukan apakah yang bersangkutan (dalam hal ini Pecandu Narkotika) menjalani rehabilitasi atau tidak berdasarkan pada terbukti atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan. Artinya, ada proses pemeriksaan di pengadilan dulu sebelum adanya putusan hakim yang menentukan seseorang direhabilitasi atau tidak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Narkotika:

(1)   Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a.    memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

Penjelasan:
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan.

b.    menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

Penjelasan:
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.

(2)  Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Begitu pula untuk Penyalah Guna narkotika (termasuk yang kemudian menjadi korban penyalahgunaan narkotika), penentuan apakah ia direhabilitasi atau tidak tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwadalam hal Penyalah Guna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Namun, meski masih dalam proses peradilan pidana, baik itu penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan sidang di pengadilan; tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu; penyidik, jaksa penuntut umum, atau hakim bisa saja meminta asesmen terhadap tersangka atau terdakwa sebelum ditempatkan di lembaga rehabilitasi.[4] Penjelasan lebih lanjut akan kami jelaskan di bawah ini.

Syarat Permohonan Rehabilitasi
Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari laman Badan Narkotika Nasional (“BNN”), syarat-syarat permohonan rehabilitasi itu adalah
1.    Surat Permohonan Bermaterai ke BNN berisi antara lain:
a.    Identitas pemohon/tersangka
b.    Hubungan Pemohon dan tersangka
c.    Uraian Kronologis dan Pokok Permasalahan Penangkapan Tersangka
2.    Pas Foto tersangka 4 x 6 (1 lembar)
3.    Foto Copy Surat Nikah bila pemohon suami/istri tersangka
4.    Foto Copy Surat Izin Beracara bila pemohon adalah Kuasa Hukum/Pengacara Tersangka dan surat kuasa dari keluarga
5.    Surat Keterangan dari Sekolah/Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan, bila tersangka adalah pelajar/Mahasiswa
6.    Surat keterangan dari tempat kerja, bila tersangka sebagai pekerja/pegawai
7.    Fotocopi surat penangkapan dan surat penahanan
8.    Surat Keterangan dari tempat rehgabilitasi, bila yang bersangkutan pernah atau sedang proses Rehabilitasi
9.    Surat Rekomendasi dari penyidik, Jaksa Penuntut umum atau hakim untuk direhabilitasi/asesmen

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...