Untuk menjawab
permasalahan utama, kiranya saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengenai apa
saja hak-hak seorang karyawan yang meninggal dunia yang bukan karena kecelakaan
kerja, masing-masing sebagai berikut:
1. bahwa hak-hak seorang karyawan (dalam
hal ini, pekerja/buruh) yang meninggal dunia -yang bukan karena kecelakaan
kerja, termasuk bukan karena penyakit akibat kerja (“PAK”) -
sesuai ketentuan dan timbul dari peraturan perundang-undangan, adalah:
a. sejumlah uang*
(semacam “uang duka”) yang nilai dan perhitungannya sama dengan -jumlah-
perhitungan 2 (dua) kaliuang pesangon sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), 1 (satu)
kali uang penghargaan masa kerjasesuai ketentuan Pasal 156
ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
*Keterangan: Sejumlah “uang duka” tersebut, adalah
merupakan kewajiban dari pengusaha yang mana pekerja/buruh yang
bersangkutan bekerja atau merupakan hak ahli waris-(keluarga)-nya (vide Pasal
166 UU Ketenagakerjaan).
b. jaminan kematian (“JK”)* yang
meliputi :
1) Santunan kematian, lumpsum sebesar
Rp14.200.000,- (empat belas juta dua ratus ribu rupiah);
2) Biaya pemakaman, lumpsum sebesar
Rp2.000.000,- (dua juta rupiah); dan
3) Santunan berkala
dibayarkan sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per-bulan selama 24 (dua
puluh empat) bulan, atau -jika- dibayarkan di muka sekaligus sebesar Rp4.800.000,-
(empat juta delapan ratus ribu rupiah) atas pilihan -dari (para) ahli warisnya-
(videPasal 12 dan Pasal 13 UU No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau UU Jamsostek jo Pasal
22 PP No. 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana
telah diubah terakhir dengan PP No. 53 Tahun 2012 atau
disebut PP Penyelenggaraan Jamsostek).
*Keterangan: Hak JK ini, merupakan
kewajiban PT Jamsostek jika tenaga kerja diikut-sertakan dalam program
jamsostek. Akan tetapi, manakala pengusaha tidak mengikutkan tenaga
kerjanya pada program jamsostek, maka merupakan tanggung-jawab (dan kewajiban)
perusahaan memenuhinya (vide Pasal 17 dan 18 ayat (3) UU Jamsostek)
c. jaminan hari tua (“JHT”)* yang
jumlahnya merupakan akumulasi iuran selama masa kepesertaan dan
pengembangannya.
*Keterangan: JHT ini -pada prinsipnya- juga
dibayarkan -oleh PT. Jamsostek- kepada ahli waris. Dalam hal tenaga kerja tidak
diikutsertakan dalam program jamsostek (termasuk jika
diikutsertakan, akan tetapi terputus-putus), maka JHT (atau selisihnya)
merupakan kewajiban dan tanggung-jawab pengusaha untuk membayar yang besaran
nilainya sesuai jumlah kewajiban yang seharusnya diperoleh dari PT. Jamsostek (vide Pasal
6 ayat [1] huruf c dan Pasal 14 ayat [2] jo Pasal 17 dan 18
ayat (3) UU Jamsostek jo Pasal 24 ayat [1] PP Penyelenggaraan
Jamsostek jo PP No. 1 Tahun 2009);
Selain itu, ada kemungkinan juga timbul hak dari perjanjian atau
persetujuan -para pihak, yang merupakan kesepakatan dan/atau dituangkan dalam perjanjian
kerja dan/atau dalam peraturan perusahaan/perjanjian
kerja bersama sehingga mengikat para pihak mematuhinya (pacta sun
servanda) dan menjadi hak –ahliwaris- mendiang (vide Pasal
1338 dan Pasal 1320 jo Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau KUH Perdata).
2. Pihak-pihak yang berhak sebagai ahli
waris dari -seorang- karyawan yang meninggal dunia, pada prinsipnya sangat
tergantung dari hukum waris apa yang berlaku -dan hukum waris mana yang
diterapkan- bagi si Pewaris. Hukum yang diterapkan, menentukan kepada siapa
warisan diberikan dan bagaimana (para) ahli waris menerima pembagiannya, serta
berapa hak / bagiannya masing-masing.
Sebagaimana informasi yang Saudara sampaikan, bahwa ada 3 (tiga)
pihak yang mempunyai hubungan –langsung maupun tidak langsung– dengan mendiang,
masing-masing, isteri (sah) dan -kedua- orang tua kandung, serta “anak adopsi”.
Terkait dengan persoalan, pihak mana yang berhak atau kepada siapa harta
warisan diberikan? Dapat kami jelaskan, sebagai berikut :
a) Seperti kata Saudara,
bahwa mendiang -sudah- menikah sah di Gereja dan telah
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, maka asumsi saya hukum yang diterapkan dan
berlaku bagi ahli warisnya adalah Hukum Waris Perdata Barat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 830 s.d. Pasal 1130 KUH Perdata.
b) Kemudian menurut Saudara,
-secara de-facto- isterinya telah diceraikan tanpa putusan
pengadilan (yang kata Saudara, hanya dilakukan secara adat) dan selanjutnya
berpisah selama sembilan tahun. Terkait dengan hal tersebut, berdasarkanPasal
39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa
perceraian (hidup) hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan. Dan pernyataan terjadinya
perceraian, baru -sah- terhitung pada saat dinyatakan di depan Sidang
Pengadilan. Dengan demikian, apabila perceraian tersebut tanpa -dan belum ada-
putusan pengadilan (yang berwenang) dan -seperti kata Saudara- hanya “bercerai
secara adat” -yang sudah- selama 9 (sembilan) tahun, menurut hemat saya
belumlah sah untuk dikatakan bahwa telah “terjadi perceraian” dan -tentu- belum
mempunyai akibat -secara- hukum.
Oleh karena perceraian belum dilakukan secara resmi hingga
meninggalnya salah satu pihak, maka hakikatnya belum pernah
terjadi perceraian secara sah dan belum mempunyai akibat hukum atas
perpisahan tersebut. Dalam pengertian, walaupun mereka secara de facto telah
berpisah, namun karena de jurebelum ada putusan Pengadilan, maka
(secara hukum) mereka adalah masih -sah- sebagai suami isteri.
Dengan demikian, menurut hemat saya, isteri mendiang masih
berhak sebagai ahli waris -atas warisan- mendiang suaminya sebagai karyawan
dari perusahaan dan/atau dari PT. Jamsostek.
c) Selanjutnya Saudara
mengatakan, ada orang tua kandung dari -mendiang-. Namun dalam sistem Hukum
Waris Perdata Barat, berdasarkan Pasal 852 s.d.Pasal 856 KUH
Perdata orang tua -kandung- adalah ahli waris golongan kedua, yang
hanya berhak -tampil- menjadi ahli waris jika tidak ada sama sekali ahli waris
golongan pertama (suami/isteri dan/atau anak sah). Karena isteri mendiang
(sebagai ahli waris golongan pertama) masih ada, maka orang tua tentunya tidak
berhak (tampil) mewaris (Pasal 852 jo Pasal 852a KUH Perdata).
d) Kemudian status anak
angkat (anak adopsi) yang kata Saudara secara hukum tidak dapat
dibuktikan dengan surat -penetapan-adopsi anak dari pengadilan
(yang berwenang), maka dengan demikian, menurut hemat saya legal
standing-nya sangat lemah. Derajat dan haknya anak adopsi sebagai ahli
waris hanya -dapat- dipersamakan seperti anak sah -jika telah ditempuh proses
adopsi secara sah- (vide Pasal 20 jo Pasal 1 angka 2 dan Pasal
2 PP No. 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Surat EdaranMahkamah
Agung No. 6 Tahun 1983 jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun
1979 mengenai Pengangkatan Anak).
Disamping ketentuan Hukum
Waris tersebut di atas, pemberian hak waris kepada ahli waris, diatur juga
dalam peraturan perundang-undangan mengenai jaminan sosial tenaga kerja
(jamsostek), khususnya dalam Pasal 22 PP No. 53 Tahun 2012 jo PP No. 14
Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek. Walau demikian, menurut hemat
saya ketentuan tersebut sangat lemah, karena tidak memperhatikan asas-asas dan
prinsip hukum waris, khususnya ketentuan dan peraturan perundang-undangan
mengenai sistem hukum waris yang berlaku dan diterapkan di Indonesia. Kalaupun
harus diberlakukan, maka tentu hanya hak-hak tenaga kerja yang berasal
(diperoleh) dari Jamsostek -khususnya- hak atas jaminan kematian dan
jaminan hari tua yang dapat dibagi menurut ketentuan Pasal 22 PP Nomor 53 Tahun
2012 dimaksud.
Demikian jawaban saya,
mudah-mudahan dapat dimengerti.
Dasar hukum:
6. Peraturan Pemerintah No.
14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No.
53 Tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar