Selasa, 06 Januari 2015

PILIH DENGAN SISTEM JUAL PUTUS ATAU ROYALTY ?


Berikut ini saya ingin menyampaikan tentang sistem jual putus dan sistem royalti dalam dunia penerbitan. Tentu saja berdasarkan pengalaman-pengalaman saya selama ini.

Selama ini, dikenal adanya dua sistem pembayaran apabila sebuah naskah diterbitkan oleh sebuah penerbit. Entah itu buku non fiksi maupun fiksi. Sistem ini adalah Jual Putus dan Royalti. Biasanya pada saat naskah sudah mendapat persetujuan terbit, akan terjalin komunikasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana penerbitan naskah tersebut antara penulis dan editor (yang mewakili penerbit). Salah satu diantaranya adalah mengenai kontrak dan sistem pembayaran. Ketika ditawarkan apakah kita akan mengambil sistem jual putus atau royalti, manakah yang sebaiknya diambil?

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan dari teman sesama penulis ketika dia dihadapkan pada pilihan ini. Mereka kebingungan, apakah harus memilih jual putus atau royalti? Nah, sebelum memutuskan salah satunya, lebih baik kita lihat dulu apakah keuntungan dan kerugian dari kedua sistem pembayaran ini.

Jual Putus
  • Penulis hanya akan menerima satu kali pembayaran saja, yaitu pembayaran di muka ketika kesepakatan sudah disetujui dan kontrak jual beli sudah ditandatangani. Setelah itu penulis tidak akan menerima pembayaran lagi.
  • Besar harga tergantung kesepakatan antara Penulis dengan Penerbit. Hanya saja, biasanya setiap penerbit sudah mempunyai standar harga masing-masing untuk setiap jenis naskah. Tetapi, kalau Penulis memiliki nilai tawar (bargaining power) tersendiri, bisa saja kita meminta nilai lebih dari angka yang ditawarkan oleh penerbit. Yang jelas, naskah belum bisa diterbitkan kalau kesepakatan ini belum disetujui kedua belah pihak.
  • Bargaining power dimaksud misalnya, tema yang ditulis belum pernah ada sebelumnya, berpeluang menciptakan tren baru, memiliki peluang untuk menjadi best seller,dan lain-lain. Hal-hal seperti itu yang bisa diajukan sebagai dasar pengajuan permintaan kenaikan harga. Jadi tidak semata-mata kita meminta harga tinggi kalau tidak ada ‘sesuatu’ yang lebih dari naskah kita. Apalagi, kalau kita adalah penulis baru yang belum dikenal di dunia perbukuan, biasanya penerbit memiliki pertimbangan tersendiri.
  • Penulis dan Penerbit akan menandatangani Surat Akad Jual Beli Naskah (SAN) –istilahnya bisa berbeda-beda di setiap penerbit.

Keuntungan
  • Penulis akan menerima pembayaran sekaligus (sesuai angka kesepakatan) tanpa perlu menunggu periode pembayaran seperti yang diberlakukan pada sistem royalti.
  • Apabila buku tidak laku, penulis tidak akan merasa rugi karena sudah dibayar di muka.

Kerugian
  • Apabila bukunya ternyata laris dan bahkan best seller, penulis tidak akan mendapatkan keuntungan/pembayaran apapun lagi.
  • Setiap kali terjadi cetak ulang, penulis hanya akan mendapatkan bukti cetak ulang saja.

Royalti
  • Penulis akan menerima pembayaran royalti secara rutin pada setiap periode pembayaran. Periode pembayaran yang selama ini pernah saya terima cukup bervariasi, dari yang per-triwulan (tiga bulanan), per kwartal (empat bulanan), dan per semester (enam bulanan). Setiap penerbit memiliki sistem periode pembayaran yang berbeda-beda. Untuk mengetahuinya, bisa dibaca pada kontrak penerbitan.
  • Besaran royalti di setiap penerbit bisa sama, bisa pula berbeda. Tergantung dari penerbit yang bersangkutan. Untuk buku anak yang membutuhkan banyak ilustrasi biasanya prosentasi royalti akan jauh lebih kecil dari royalti standar, karena harus berbagi dengan ilustrator. Standar umum royalti adalah 10% dari harga jual buku.
  • Setiap penerbit memiliki standar royalti masing-masing. Angka prosentasi yang kita terima akan tercantum dalam kontrak penerbitan. Penulis boleh mengajukan negosiasi royalti (permintaan kenaikan prosentasi royalti) apabila memiliki bargaining power, seperti yang sudah dijelaskan pada sistem jual putus di atas.
  • Royalti yang dibayar dihitung dari rekapitulasi penjualan buku kita setiap periodenya. 
  • Contoh perhitungan royalti. Dalam suatu periode, buku yang terjual adalah sebanyak 1.000 eks dengan harga jual Rp. 30.000,- Sementara itu prosentasi royalti kita adalah 10%, maka perhitungannya adalah sebagai berikut :
1.000 eks x Rp. 30.000,- = Rp. 30.000.000,- x 10% = Rp. 3.000.000,-
  • Jangan salah, setiap royalti akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (untuk yang memiliki NPWP) atau 30% (untuk yang tidak memiliki NPWP). Karena itu, setelah didapat nilai royalti dari perhitungan di atas, nilai royalti kita harus dikurangi terlebih dahulu oleh PPH, seperti berikut :

            Jumlah Royalti                                      Rp. 3.000.000,-
PPh Psl 23 (Rp. 3.000.000,- x 15%)   Rp.    450.000,-  (-)
Royalti yang diterima                            Rp. 2.550.000,-

  • Penulis dan Penerbit akan menandatangani Surat Perjanjian Penerbitan (SPP).

Keuntungan
  • Sistem royalti bagi saya tidak ubah sebagai tabungan yang akan cair setiap akhir periode pembayaran. Setidaknya ada sesuatu yang ditunggu-tunggu pada setiap akhir periode. Bukankah sangat menyenangkan apabila setiap 6 bulan sekali rekening kita akan terisi lagi secara otomatis? J
  • Apabila buku kita laris, best seller sampai cetak ulang berkali-kali, maka pendapatan kita pun akan terus bertambah. Royalti kita akan terus dihitung dari setiap buku yang terjual. Menyenangkan sekali bukan?
  • Di penerbit-penerbit tertentu, ada bonus (tambahan) royalti apabila buku kita best seller dan melewati jumlah penjualan tertentu. Katakan saja awalnya royalti kita adalah 10%. Setelah melewati jumlah penjualan tertentu, Penulis akan mendapatkan bonus royalti 1% sehingga untuk penjualan di atas angka tersebut akan menjadi 11%. Mantap jaya kan? J

Kerugian
  • Kita harus sabar menunggu setiap akhir periode untuk mendapatkan penghasilan.
  • Apabila buku tidak laku, maka pendapatan penulis pun sedikit. Royalti hanya diterima dari prosentasi buku yang terjual saja.

Jadi, mending yang mana?
Tentu saja keduanya memiliki keuntungan dan kekurangan tersendiri. Tinggal kita timbang-timbang lagi semendesak apa kita membutuhkan dana. Apabila ternyata kita memerlukan dana mendesak (karena suatu kepentingan yang tidak bisa ditunda), tentu jual putus adalah pilihan yang tepat. Kita bisa menerima penghasilan dari penjualan naskah dengan sekaligus dan cepat. Selain itu Penulis pun tidak perlu takut apakah nanti bukunya akan laku atau tidak.

Hanya saja, kalau anda menulis for fun (menulis karena hobi dan bukan karena materi), atau tidak dalam kondisi sedang memerlukan dana mendesak, kenapa tidak memilih sistem royalti saja? Bukankah peluang mendapatkan penghasilan yang lebih besar pun selalu terbuka? Sistem royalti juga ikut memacu penulisnya agar ikut turun tangan dalam promo dan penjualannya. Bukankah semakin banyak buku terjual kita juga akan semakin untung? 

Semoga bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...