PENDAHULUAN
Hak cipta sebagai hak kebendaan yang immateril selalu berhubungan dengan hak milik. Konsekuensinya siapapun yang menjadi pemiliknya dapat dengan bebas sesuka hati melakukan tindakan hukum terhadap miliknya itu. Salah satu cara yang bisa dilakukan ialah dengan melakukan penjualan hak atas ciptaannya kepada orang lain dengan alasan unuk kebutuhan komersil. Didalam KUHPerdata hak cipta dikategorikan sebagai kebendaan tak bertubuh. Konsekuensinya, transfer of ownershipnya hanya dapat dilakukan menurut pasal 613 KUHPerdata, yaitu dengan cara membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hak hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain . Dialah diakui sebagai pencipta dari hasil karya ciptaanya dan secara tidak langsung melahirkan dua hak. Menurut Hutauruk ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam ketentuan Undang Undang Hak cipta Indonesia, yaitu :
Hak cipta sebagai hak kebendaan yang immateril selalu berhubungan dengan hak milik. Konsekuensinya siapapun yang menjadi pemiliknya dapat dengan bebas sesuka hati melakukan tindakan hukum terhadap miliknya itu. Salah satu cara yang bisa dilakukan ialah dengan melakukan penjualan hak atas ciptaannya kepada orang lain dengan alasan unuk kebutuhan komersil. Didalam KUHPerdata hak cipta dikategorikan sebagai kebendaan tak bertubuh. Konsekuensinya, transfer of ownershipnya hanya dapat dilakukan menurut pasal 613 KUHPerdata, yaitu dengan cara membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hak hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain . Dialah diakui sebagai pencipta dari hasil karya ciptaanya dan secara tidak langsung melahirkan dua hak. Menurut Hutauruk ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam ketentuan Undang Undang Hak cipta Indonesia, yaitu :
1. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain.
2. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak
dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya,
mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan
atau integritas ceritanya) .
Munculnya hak eksklusif bagi pencipta
memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan pengalihan hak kebendaan itu
dengan pemberian izin (Lisensi) kepada pihak yang ingin memanfaatkannya demi
kepentinagan komersil. Artinya, bagi pihak ketiga ada alur regulasi yang harus
dipatuhi dan ditaati. Hukum seyogyanya berfungsi sebagai penyeimbang tidak
mengharapkan adanya misbruik van rechts (pelanggaran yang menyebabkan orang
lain di rampas haknya).
Didalam reality in society sering
terjadi pelanggaran pelangaran terhadap hak cipta. Padahal semua kita tahu
bahwa pasca perubahan Undang undang hak cipta yang baru, ada sedikit perubahan
mengenai indikasi pelanggaran dalam hak cipta dari delik aduan menjadi delik
biasa. Semua orang yang melihat dan merasakan pelanggaran terhadap hak cipta
dapat dengan langgsung melaporkannya kepada pihak yang berwenang tanpa harus
melalului pengaduan terlebih dahulu dari pemegang hak cipta.
Namun bagaimana jadinya jika orientasi
pencipta sudah tak searah lagi dengan Intellectual Property Rights. Dengan
iming iming Royalti yang selangit mereka rela dengan pasrah mengalihkan hak
kebendaanya itu tanpa melalui suatu perjanjian lisensi. Hanya dengan sekali
bayar maka haknya secara ekonomis akan hilang selamanya. Inilah virus yang
sedang menyebar dan menjangkiti mind set para insan seni di Indonesia sekarang.
Contohnya, pada awal berdiri, grup band Gigi menjual putus hasil karya mereka
berupa lagu-lagu dalam album pertama sampai ketiga, karena mereka ingin
mendapatkan HARD CASH. Tapi sayangnya, banyak dari lagu lagu pertama mereka
yang menjadi hits sampai hari ini, dan grup band Gigi terpaksa gigit jari
karena tidak mendapatkan royalti
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang sebagaimana
diuraikan diatas, maka dapatlah ditarik suatu permasalahan, Apakah
diperbolehkan system jual putus dalam aspek hukum perdata ?
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Jika kita amati sistem jual putus seolah
olah bertolak belakang dengan keharusan seorang pencipta untuk mendaftarkan
hasil ciptaanya. Padahal Dengan adanya pendaftaran hasil ciptaan ke direktoral
jendral Hak Atas Kekayaan Intelektual akan melahirkan hak cipta. Sistem jual
putus akan menimbulkan polemik antara pencipta asli dengan pihak lain yang
mengklaim akan kepemilikan hasil ciptaan tersebut.
Menurut Prof. Kollewijn sebagaimana dikutip oleh Soekardono mengatakan bahwa ada dua jenis cara atau stelsel pendaftaran yaitu, stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif.
Yang pertama, berarti bahwa hak atas
ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan. Yang
kedua ialah bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak,melainkan hanya memberikan
dugaan atau sangkaan saja menurut undang undang bahwa orang orang yang hak
ciptaannya terdaftar itu adalah si berhak sebenarnya sebagai pencipta dari hak
yang didaftarkannya .
Dalam stelsel konstitutif letak titik
berat ada tidaknya hak cipta tergantung pada pendaftarannya. Jika didaftarkan (
dengan sistem konstitutif ) hak cipta itu diakui keberadaanya secra de jure dan
de facto sedangkan pada stelsel deklaratif titik beratnya diletakkan pada
anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkan itu, sampai orang lain
dapat membuktikan sebaliknya . Hanya dengan royalty yang sekali bayar seorang
pencipta harus merelakan hak ekonomisnya. Berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang
undang hukum perdata, jual putus merupakan suatu consensual overeenkomst antara
seorang pencipta dengan pihak yang membeli hasil ciptaannya.
Artinya jual putus merupakan kesepakatan antara pencipta dengan pihak yang membeli hasil ciptaanya tanpa harus melalui zakelijke overeenkomst. Dengan demikian ciptaan tersebut merupakan suatu ciptaan yang tidak memiliki payung hukum. Sebab ciptaan tersebut tidak didaftarkan didaftar umum ciptaan, otomatis pemegang hak cipta tidak dapat membuat perjanjian lisensi kepada pihak lain. Namun secara yuridis formal tidak ada larangan kepada seorang pencipta untuk menjual hasil ciptaanya dengan sistem jual putus. Akan tetapi seorang pencipta tidak dapat menuntut gant rugi mengenai hak ekonomisnya jika terjadi pelanggaran terhadap hasil ciptaannya tersebut.
Di dalam pasal 24 UUHC seorang pencipta tetap memiliki hak moral atas hasil ciptaanya walaupun hak atas ciptaanya telah beralih. Pasal 24 ayat 2 menjelaskan bahwa Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.
KESIMPULAN
Sistem jual putus merupakan suatu consensual overeenkomst antara pencipta dengan pihak yang ingin memanfaatkan ciptaan itu secara komersil. Didalam UUHC tidak ada larangan terhadap pencipta untuk melakukan sistem jual putus terhadap setiap hasil karyanya. Begitu juga di dalam KUHPerdata tidak ada larangan kepada sang pencipta untuk melakukan penjualan hasil ciptaanya dengan sistem jual putus. Akan tetapi efek yang dominan hak ekonomisnya akan hilang selamanya. Namun tidak menghilangkan moral Rights dari hasil ciptaanya
Sistem jual putus merupakan suatu consensual overeenkomst antara pencipta dengan pihak yang ingin memanfaatkan ciptaan itu secara komersil. Didalam UUHC tidak ada larangan terhadap pencipta untuk melakukan sistem jual putus terhadap setiap hasil karyanya. Begitu juga di dalam KUHPerdata tidak ada larangan kepada sang pencipta untuk melakukan penjualan hasil ciptaanya dengan sistem jual putus. Akan tetapi efek yang dominan hak ekonomisnya akan hilang selamanya. Namun tidak menghilangkan moral Rights dari hasil ciptaanya
DAFTAR PUSTAKA
H.OK.Sadikin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual ( Intellectual Property Rights ), PT.Rajagrfindo Persada, Jakarta, 2004.
H.OK.Sadikin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual ( Intellectual Property Rights ), PT.Rajagrfindo Persada, Jakarta, 2004.
M. Hutauruk, Peraturan
Hak cipta Nasional, Jakarta, Erlangga, 1982.
Soekardono R., Hukum Dagang Indonesia I,Tanpa Tempat : Dian Rakyat, 1981.
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002
Soekardono R., Hukum Dagang Indonesia I,Tanpa Tempat : Dian Rakyat, 1981.
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002
Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, PT Dian rakyat, Jakarta 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar