Jumat, 30 Desember 2016

Perhitungan Pesangon PHK Dengan Alasan Mencapai Usia Pensiun

Pasal 167


(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.

(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat(4).

(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rabu, 31 Agustus 2016

ANALISIS KETENTUAN PAJAK PENGHASILAN BAGI PERUSAHAAN DAGANG ASING YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA

 Dibuat: Kamis, 16 April 2015 17:50

Abstrak
Ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia akan lebih baik bila dilakukan penyempurnaan agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda antara aparat pajak dan wajib pajak.
Kata kunci:
Ketentuan PPh, Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia, Penyempurnaan.
A.Pendahuluan
Secara umum, penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri dari negara sumber dapat dipajaki oleh negara sumber apabila penghasilan dari usaha tersebut dilakukan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara sumber. Undang-undang PPh[1] telah memberikan pengaturan pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Secara umum, pemajakannya menggunakan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2a) Undang-undang PPh, namun ada juga yang pemajakannya menggunakan tarif khusus bersifat final di antaranya adalah pemajakan bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia. Dalam pemajakan terhadap Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia, dalam praktiknya, dapat terjadi perbedaan interpretasi antara aparat pajak dan wajib pajak. Sebelum dilakukan pembahasan atas ketentuan PPh bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia, terlebih dahulu dipaparkan ketentuan perpajakan bagi BUT.
B.Ketentuan Perpajakan Bagi BUT
1.Ketentuan Subjek Pajak Bagi BUT
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang PPh menyebutkan secara eksplisit bahwa BUT dijadikan sebagai Subjek Pajak. Sebetulnya, yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Dengan kata lain, yang menjadi Subjek Pajak adalah Subjek Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh, yang dimaksud BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia (Subjek Pajak Luar Negeri) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa antara lain kantor perwakilan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1a) Undang-undang PPh, perlakuan perpajakan BUT dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Subjak Pajak Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan menjadi Wajib Pajak Luar Negeri.
2.Ketentuan Objek Pajak BUT Secara Umum
Ketentuan Objek Pajak dalam Undang-undang PPh diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 15. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh diatur definisi penghasilan yang menjadi Objek sebagai berikut:
“(1)  Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
… c.laba usaha; ….”
Rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh tersebut adalah rumusan setelah perubahan dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Selanjutnya, dalam Pasal 5 Undang-undang PPh diatur secara khusus mengenai Objek Pajak bagi BUT. Adapun rumusan ketentuan Pasal 5 Undang-undang PPh adalah sebagai berikut:
“(1)  Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
a.  penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b.  penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c.  penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
(2)  Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.
(3)  Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :
a.  biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b.  pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah :
1)Tarif atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2)imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3)bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
c.  pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.”
Rumusan ketentuan Pasal 5 Undang-undang PPh tersebut adalah rumusan setelah perubahan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan tidak mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Selanjutnya, ketentuan cara menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi BUT dalam Undang-undang PPh diatur dalam Pasal 16 ayat (3). Adapun rumusan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Undang-undang PPh tersebut adalah sebagai berikut:
“(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.”
Rumusan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Undang-undang PPh tersebut adalah rumusan setelah perubahan dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pemajakan terhadap BUT yang tidak bersifat final menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-undang PPh. Adapun rumusan Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-undang PPh tersebut adalah sebagai berikut:
“(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.”
Rumusan Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-undang PPh tersebut adalah rumusan setelah perubahan dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008.
3.Ketentuan Objek Pajak Bagi Perusahaan Dagang Asing yang Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
Ketentuan Objek Pajak bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-undang PPh. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh mengatur definisi penghasilan yang menjadi Objek Pajak secara umum. Penghasilan neto bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia diatur dalam Pasal 15 Undang-undang PPh yang mana penghasilan netonya dihitung dengan Norma Penghitungan Khusus. Rumusan ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh tersebut adalah sebagai berikut: “Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.”
Rumusan ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh tersebut adalah rumusan setelah perubahan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan tidak mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-undang 36 Tahun 2008. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang PPh mengatur cara menghitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri sedangkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Undang-undang PPh mengatur cara menghitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Selanjutnya, dalam memori penjelasan Pasal 15 disebutkan sebagai berikut:
“Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and transfer”).
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.”
Adapun peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 tanggal 29 Oktober 2001 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang diralat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 tanggal 28 Februari 2002.
Inti pemajakan terhadap BUT Kantor Perwakilan Dagang tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Penghasilan neto dari Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.
  2. Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.
  3. Yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Selanjutnya, terkait penerapan tarif 0,44%, Direktur Jenderal Pajak memberikan penegasan melalui suratnya Nomor SE-2/PJ.03/2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Penegasan atas Penerapan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia sebagai berikut:
Adapun dasar penghitungan 0,44% adalah sebagai berikut :
- PPh atas penghasilan kena pajak terutang                                     30% x 1%                  =  0.30%
- Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT      
(Branch Profit Tax) (tarif 20%)                                       20% x (1-0,3)%   =   0,14%              - Total                                                                                                                                                    =  0,44%  
           
Untuk Kantor Perwakilan Dagang dari negara-negara mitra P3B[2] dengan Indonesia, maka besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu BUT tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.
Contoh : Penghitungan untuk Kantor Perwakilan Dagang yang berasal dari Spanyol.
Tarif Branch Profit Tax dalam P3B Indonesia dengan Spanyol sebesar 10%. Dengan demikian tarif pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
- PPh atas penghasilan kena pajak terutang                                                  30% x 1%             =   0.30%
- Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT      
(Branch Profit Tax) (tarif 10%)                                                      10% x (1-0,3)%   =   0,07%              - Total                                                                                                                                                            =   0,37%  
Pembahasan

Dalam praktiknya, pernah terjadi perbedaan persepsi antara aparat pajak dengan wajib pajak mengenai perlakukan Pajak Penghasilan terhadap Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia mengenai hal-hal berikut ini:
-     Apakah Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia tersebut merupakan bentuk Usaha Tetap?
-     Seandainya Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia tersebut merupakan bentuk Usaha Tetap, apakah bisa dipajaki di Indonesia?
-     Seandainya Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia tersebut merupakan bentuk Usaha Tetap dan bisa dipajaki di Indonesia, apakah tarif Branch Profit Tax-nya bisa disesuaikan dengan Tarif BPT sebagaimana diatur dalam P3B?
Pembahasan atas ketiga permasalahan tersebut dipaparkan berikut ini.
1.Pembahasan dari Sisi Subjek Pajak
Dilihat dari sisi Subjek Pajaknya, untuk menentukan apakah Perusahaan Dagang Asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia atau tidak perlu dilihat apakah negara domisilinya mempunyai P3B dengan Indonesia tatau tidak.
Apabila negara domisilinya tidak mempunyai P3B dengan Indonesia, maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5) Undang-undang PPh, Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dalam rangka untuk menjalankan usahanya maka, secara normatif, Perusahaan Dagang Asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia berupa BUT Kantor Perwakilan (BUT Kantor Perwakilan Dagang).
Apabila negara domisilinya mempunyai P3B dengan Indonesia, maka perlu dilihat apakah Kantor Perwakilan Dagang tersebut termasuk dalam pengertian BUT sebagaimana diatur dalam P3B.
Dengan demikian, apabila Perusahaan Dagang Asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia, maka Indonesia berhak memajaki penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Perusahaan Dagang Asing tersebut. Adapun pemenuhan kewajiban perpajakannya di Indonesia dilakukan melalui BUT Kantor Perwakilan Dagang tersebut.
Perbedaan persepsi antara aparat pajak dengan wajib pajak kadang-kadang muncul karena ketentuan PPh tidak memberikan definisi secara jelas apa yang dimaksud dengan Kantor Perwakilan Dagang karena istilah Kantor Perwakilan Dagang ini muncul dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994.
Sebagai contoh, misalnya Perusahaan Dagang Asing mempunyai Kantor Perwakilan di Indonesia yang tugasnya untuk mencari pembeli di Indonesia, melakukan pengawasan kuantitas dan/atau kualitas barang yang dijual oleh Perusahaan Dagang Asing, dan memberikan pelayanan purna jual kepada para pembeli di Indonesia, maka apabila tidak ada P3B antara negara domisili Perusahan Dagang Asing dengan Indonesia, berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh Perusahaan Dagang Asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia. Apabila ada P3B antara negara domisili Perusahan Dagang Asing dengan Indonesia maka harus dilihat ketentuan pengertian BUT dalam P3B tersebut.
Contoh lain, misalnya Perusahaan Dagang Asing menyewa tempat di Indonesia yang digunakan sebagai kantor yang tugasnya hanya untuk mengantarkan pegawai Kantor Pusat Perusahaan Dagang Asing ke tempat pembeli atau calon pembeli di Indonesia. Apakah kantor tersebut merupakan BUT dalam bentuk BUT Kantor Perwakilan (BUT Kantor Perwakilan Dagang)? Hal ini bisa menimbulkan persepsi yang berbeda antara aparat pajak dan wajib pajak. Bagi aparat pajak, akan memperlakukan kantor tersebut sebagai BUT agar Indonesia bisa memajaki penghasilan dari penjualan Perusahaan Dagang Asing kepada pembeli di Indonesia. Bagi wajib pajak, akan keberatan apabila kantor tersebut diperlakukan sebagai BUT karena tugasnya hanya sebagai kantor penghubung saja.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, akan lebih baik ke depannya apabila ketentuan PPh memberikan definisi Kantor Perwakilan Dagang.
2.Pembahasan dari Sisi Objek Pajak
Dilihat dari sisi Objek Pajaknya, penghasilan neto Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia tidak dihitung dengan menggunakan mekanisme umum dengan cara mengurangkan biaya/pengeluaran yang diperbolehkan menurut ketentuan perpajakan dari penghasilan bruto, melainkan dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus karena alasan pertimbangan praktis dan untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Ketentuan pemajakan terhadap Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia (BUT Kantor Perwakilan Dagang) ini walaupun tidak didasarkan pada prinsip umum, prinsip ability to pay, namun secara logika ketentuan ini adalah hal yang wajar dan masuk akal karena kalau penghasilan neto BUT Kantor Perwakilan Dagang dihitung dengan menggunakan mekanisme umum maka akan menyulitkan karena data harga pokok penjualan dan biaya usaha lainnya berada di Kantor Pusat BUT Kantor Perwakilan Dagang tersebut.
Permasalahan timbul di lapangan apabila wajib pajak punya persepsi bahwa pengenaan PPh bagi BUT, Objek Pajaknya hanya didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh. Menurut persepsi Wajib Pajak, penghasilan Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia tidak bisa di pajaki sesuai ketentuan Pasal 15 Undang-undang PPh karena Objek Pajak BUT sudah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh, yang menjadi Obyek Pajak BUT adalah sebagai berikut:
a.  penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b.  penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c.  penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Menurut persepsi wajib pajak yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh, bagaimana bisa BUT dari Perusahaan Dagang Asing tersebut dipajaki di Indonesia padahal BUT-nya tidak menjual barang. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan hururf b Undang-undang PPh tidak relevan bagi BUT dari Perusahaan Dagang Asing kalau BUT-nya tidak menjual barang.
Penulis sendiri tidak sependapat dengan persepsi wajib pajak yang hanya mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh untuk Objek Pajak BUT. Sebetulnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPh itu mengatur Objek Pajak BUT secara umum dan juga tidak lepas dari ketentuan pengertian penghasilan yang menjadi Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh. Bagi BUT tertentu, tambahan kemampuan ekonomis (penghasilan neto) yang menjadi Objek Pajak yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) Undang-undang PPh dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Untuk mengatasi perbedaan persepsi antara aparat pajak dan wajib pajak, penulis berpendapat bahwa sebaiknya dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang PPh ditambahkan satu ayat yang mengatur bahwa “Objek Pajak berupa penghasilan neto bagi BUT tertentu diatur dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang PPh.”
3.Pembahasan dari Sisi Tarif Pajak
Dari sisi tarifnya, tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,44% yang ditetapkan bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (BUT Kantor Perwaklilan Dagang) di Indonesia sebenarnya terdiri-dari dua jenis tarif yaitu tarif umum PPh atas penghasilan BUT Kantor Perwakilan Dagang itu sendiri (Corporate Income Tax) dan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) atas Penghasilan Kena Pajak setelah PPh (Branch Profit Tax).
Tarif Corporate Income Tax besarnya 0,3% dari Nilai Ekspor Bruto yang berasal dari penerapan tarif 30% atas penghasilan neto yang dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebesar 1% dari Nilai Ekspor Bruto (Omzet). Tarif 30% tersebut sebetulnya adalah tarif tertinggi dari lapisan tarif progresif PPh bagi BUT sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan tarif PPh bagi BUT Kantor Perwakilan Dagang sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994. Adapun tarif Branch Profit Tax besarnya 0,14% dari Nilai Ekspor Bruto berasal dari penerapan tarif Pasal 26 ayat (4) Undang-undang PPh atas Penghasilan Kena Pajak setelah PPh dari BUT (=20% x (1% - 0,3%) dari Nilai Ekspor Bruto). Dengan demikian, tarif PPh bagi Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai BUT Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia adalah sebesar 0,44% (=0,3%+0,14%) dari Nilai Ekspor Bruto yang pemenuhan kewajiban perpajakannya dilakukan melalui BUT Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
Selanjutnya dengan diterbitkannya Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-2/PJ.03/2008 tanggal 31 Juli 2008 yang memberikan penegasan atas Penerapan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang, maka terkait penerapan tarif 0,44% dari Nilai Ekspor Bruto, komponen tarif Branch Profit Tax yang besarnya 0,14% dapat disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax yang diatur dalam P3B. Penulis berpendapat bahwa SE-2/PJ.03/2008 tersebut memperluas hal yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 634/KMK.04/1994 karena KMK Nomor 634/KMK.04/1994 hanya mengatur besarnya pengertian Nilai Ekspor Bruto, besarnya Norma Penghitungan Khusus, dan besarnya tarif PPh atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia, dan amanah kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengatur pelaksanaan KMK Nomor 634/KMK.04/1994. KMK Nomor 634/KMK.04/1994 tidak menyebutkan asal-usul besarnya tarif 0,44% dan hal ini wajar karena penghasilan neto Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus. Apabila SE-2/PJ.03/2008 disempurnakan dan hanya mengatur teknis pelaksanaan KMK Nomor 634/KMK.04/1994, tidak menyebutkan asal-usul besarnya tarif 0,44% dan tidak membuka peluang penyesuaian besarnya tarif 0,44%, maka terdapat potensi adanya tambahan penerimaan pajak.
D.Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Ketentuan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia masih dapat menimbulkan perbedaan persepsi antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Untuk mengurangi perbedaan persepsi antara aparat pajak dan Wajib Pajak, maka disarankan:
    1. Perlunya diberikan pengertian Kantor Perwakilan Dagang.
    2. Bila dilakukan perubahan atas Undang-undang PPh, ketentuan Pasal 5 perlu ditambahkan satu ayat yang mengatur bahwa “Objek Pajak berupa penghasilan neto bagi BUT tertentu diatur dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang PPh.”
  2. SE-2/PJ.03/2008 memperluas hal yang diatur dalam KMK Nomor 634/KMK.04/1994, yaitu penegasan asal-usul besarnya tarif PPh 0,44% dan dapat dilakukannya penyesuaian atas besarnya tarif tersebut dengan tarif Branch Profit Tax yang diatur dalam P3B sehingga memungkinkan tarif tersebut turun di bawah 0,44%. SE-2/PJ.03/2008 akan lebih baik bila disempurnakan sehingga tidak memperluas hal-hal yang diatur dalam KMK Nomor 634/KMK.04/1994 sehingga tidak memungkinkan adanya penurunan tarif menjadi di bawah 0,44% sehingga dapat meningkatkan potensi penerimaan PPh Pasal 15.

Referensi:
  1. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  3. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991.
  4. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  5. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  6. Republik Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
  7. Direktorat Jenderal Pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
  8. Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-2/PJ.03/2008 tentang Penegasan atas Penerapan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (Representative Office/Liaison Office) Di Indonesia.


[1]Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
[2] Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA)

Mengenai persyaratan dan prosedur pendirian representative office diatur dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizian Dan Nonperizinan Penanaman Modal (“Perka BKPM”). Berdasarkan Perka BKPM, terdapat 2 (dua) jenis representative office, yaitu :
·     Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (“KPPA”), yaitu kantor yang dipimpin oleh satu atau lebih perorangan warga negara asing atau warga negara Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Dalam melakukan kegiatannya, KPPA wajib memiliki Izin Kegiatan KPPA. Adapun kegiatan KPPA terbatas pada :
a.    Mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasinya; dan/atau
b.    Mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan Penanaman Modal Asing, di Indonesia atau di negara lain dan Indonesia; dan
c.    Berlokasi di ibukota provinsi dan beralamat di gedung perkantoran.
·     Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“KP3A”), yaitu perorangan WNI atau WNA yang ditunjuk oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Perlu dicatat bahwa KP3A dilarang melakukan kegiatan perdagangan dan transaksi penjualan, baik dari tingkat permulaan sampai dengan penyelesaiannya seperti mengajukan tender, menandatangani kontrak, menyelesaikan klaim dan sejenisnya.
Dalam menjawab pertanyaan Bapak/Ibu, kami mengasumsikan bahwa representative office yang dimaksud adalah Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing atau KP3A. Hal ini karena penyelenggaraan kegiatan KP3A harus memiliki Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“SIUP3A”) yang semula diterbitkan oleh Kementrian Perdagangan.
Wewenang untuk menerbitkan SIUP3A, sebelum tanggal 2 Januari 2012 memang menjadi kewenangan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/1/2012 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Penanaman Modal Di Bidang Perdagangan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal (“Permendag 01/2012”), maka kewenangan untuk memberikan pemberian izin perdagangan, termasuk izin usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing menjadi wewenang Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 Permendag 01/2012 yang menyebutkan:
“(1) Menteri mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan penanaman modal di bidang perdagangan kepada Kepala BKPM dalam rangka PTSP di bidang penanaman modal dengan hak subtitusi.
(2) Kewenangan yang didelegasikan kepada Kepala BKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan pemberian perizinan usaha di bidang perdagangan yang masih menjadi kewenangan Pemerintah, yang terdiri atas:
a.    izin usaha di bidang perdagangan yang di dalamnya terdapat modal asing;
b.    izin usaha jasa survey;
c.    izin usaha perusahaan perantara perdagangan properti; dan
d.    izin usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing.”
Dengan demikian, penerbitan SIUP3A merupakan kewenangan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Kepala BKPM.
Demikian jawaban ini kami sampaikan, semoga bermanfaat
Dasar hukum:
1.   Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2013
2.    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/1/2012 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Penanaman Modal Di Bidang Perdagangan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal

Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA)

Mengenai persyaratan dan prosedur pendirian representative office diatur dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizian Dan Nonperizinan Penanaman Modal (“Perka BKPM”). Berdasarkan Perka BKPM, terdapat 2 (dua) jenis representative office, yaitu :
·     Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (“KPPA”), yaitu kantor yang dipimpin oleh satu atau lebih perorangan warga negara asing atau warga negara Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Dalam melakukan kegiatannya, KPPA wajib memiliki Izin Kegiatan KPPA. Adapun kegiatan KPPA terbatas pada :
a.    Mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasinya; dan/atau
b.    Mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan Penanaman Modal Asing, di Indonesia atau di negara lain dan Indonesia; dan
c.    Berlokasi di ibukota provinsi dan beralamat di gedung perkantoran.
·     Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“KP3A”), yaitu perorangan WNI atau WNA yang ditunjuk oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Perlu dicatat bahwa KP3A dilarang melakukan kegiatan perdagangan dan transaksi penjualan, baik dari tingkat permulaan sampai dengan penyelesaiannya seperti mengajukan tender, menandatangani kontrak, menyelesaikan klaim dan sejenisnya.
Dalam menjawab pertanyaan Bapak/Ibu, kami mengasumsikan bahwa representative office yang dimaksud adalah Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing atau KP3A. Hal ini karena penyelenggaraan kegiatan KP3A harus memiliki Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“SIUP3A”) yang semula diterbitkan oleh Kementrian Perdagangan.
Wewenang untuk menerbitkan SIUP3A, sebelum tanggal 2 Januari 2012 memang menjadi kewenangan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/1/2012 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Penanaman Modal Di Bidang Perdagangan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal (“Permendag 01/2012”), maka kewenangan untuk memberikan pemberian izin perdagangan, termasuk izin usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing menjadi wewenang Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 Permendag 01/2012 yang menyebutkan:
“(1) Menteri mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan penanaman modal di bidang perdagangan kepada Kepala BKPM dalam rangka PTSP di bidang penanaman modal dengan hak subtitusi.
(2) Kewenangan yang didelegasikan kepada Kepala BKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan pemberian perizinan usaha di bidang perdagangan yang masih menjadi kewenangan Pemerintah, yang terdiri atas:
a.    izin usaha di bidang perdagangan yang di dalamnya terdapat modal asing;
b.    izin usaha jasa survey;
c.    izin usaha perusahaan perantara perdagangan properti; dan
d.    izin usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing.”
Dengan demikian, penerbitan SIUP3A merupakan kewenangan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Kepala BKPM.
Demikian jawaban ini kami sampaikan, semoga bermanfaat
Dasar hukum:
1.   Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2013
2.    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/1/2012 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Penanaman Modal Di Bidang Perdagangan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal

Representative Office / Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA)

Mengenai persyaratan dan prosedur pendirian representative office diatur dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizian Dan Nonperizinan Penanaman Modal (“Perka BKPM”). Berdasarkan Perka BKPM, terdapat 2 (dua) jenis representative office, yaitu :
·     Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (“KPPA”), yaitu kantor yang dipimpin oleh satu atau lebih perorangan warga negara asing atau warga negara Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Dalam melakukan kegiatannya, KPPA wajib memiliki Izin Kegiatan KPPA. Adapun kegiatan KPPA terbatas pada :
a.    Mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasinya; dan/atau
b.    Mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan Penanaman Modal Asing, di Indonesia atau di negara lain dan Indonesia; dan
c.    Berlokasi di ibukota provinsi dan beralamat di gedung perkantoran.
·   Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“KP3A”), yaitu perorangan WNI atau WNA yang ditunjuk oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Perlu dicatat bahwa KP3A dilarang melakukan kegiatan perdagangan dan transaksi penjualan, baik dari tingkat permulaan sampai dengan penyelesaiannya seperti mengajukan tender, menandatangani kontrak, menyelesaikan klaim dan sejenisnya.
Dalam menjawab pertanyaan Bapak/Ibu, kami mengasumsikan bahwa representative office yang dimaksud adalah Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing atau KP3A. Hal ini karena penyelenggaraan kegiatan KP3A harus memiliki Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“SIUP3A”) yang semula diterbitkan oleh Kementrian Perdagangan.
Wewenang untuk menerbitkan SIUP3A, sebelum tanggal 2 Januari 2012 memang menjadi kewenangan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/1/2012 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Penanaman Modal Di Bidang Perdagangan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal (“Permendag 01/2012”), maka kewenangan untuk memberikan pemberian izin perdagangan, termasuk izin usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing menjadi wewenang Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 Permendag 01/2012 yang menyebutkan:
“(1) Menteri mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan penanaman modal di bidang perdagangan kepada Kepala BKPM dalam rangka PTSP di bidang penanaman modal dengan hak subtitusi.
(2) Kewenangan yang didelegasikan kepada Kepala BKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan pemberian perizinan usaha di bidang perdagangan yang masih menjadi kewenangan Pemerintah, yang terdiri atas:
a.    izin usaha di bidang perdagangan yang di dalamnya terdapat modal asing;
b.    izin usaha jasa survey;
c.    izin usaha perusahaan perantara perdagangan properti; dan
d.    izin usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing.”
Dengan demikian, penerbitan SIUP3A merupakan kewenangan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Kepala BKPM.
Demikian jawaban ini kami sampaikan, semoga bermanfaat
Dasar hukum:
1.   Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2013
2.    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/1/2012 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Penanaman Modal Di Bidang Perdagangan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...