Upaya Penyelesaian Permasalahan Perselisihan atau Konflik Waktu Perjanjian Gadai Tanah.
Salah satu diantara hal yang sangat rentan dapat menimbulkan permasalahan dan konflik dalam perjanjian gadai tanah diantara para pihak yang melakukan perjanjian ini ialah mengenai waktu gadai yang merupakan masa atau lamanya barang gadai berada di tangan penerima gadai hingga sampai pada saat pemberi gadai dapat menebusnya kembali.
Waktu gadai tanah merupakan satu bagian penting dalam perjanjian transaksi gadai, sehingga memerlukan kepastian masa berakhirnya.
Dalam hukum adat, upaya yang dapat dilakukan agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian, waktu penebusan gadai tanah tersebut terserah kepada pemberi gadai, akan tetapi hal ini tidak berarti pemberi gadai bebas mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan, sehingga dapat merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai yang tidak diusahakan. Untuk tanah gadai yang diusahakan harus memperhatikan hal-hal berikut :
a. Untuk tanah sawah, jika yang mengerjakan sawah itu penerima gadai, maka pemberi gadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah tanaman dipanen, atau “hak ketam” (memungut hasil tanaman/panen) tetap berada pada pemilik tanaman atau penggarap tanaman itu, kecuali disepakati kedua belah pihak bahwa pemberi gadai mengganti kerugian yang diminta penerima gadai/penggarap.
b. Untuk tebat atau tanah perikanan yang diusahakan pemberi gadai harus memberikan kesempatan bagi penerima gadai/pengusaha perikanan tersebut untuk menikmati hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya demikian pula untuk buah-buahan kesempatan panen bagu penerima gadai/penggarapnya harus diberikan.
Mengenai gadai khususnya tanah pertanian yang semula diatur oleh hukum adat, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yakni dalam Pasal 53 yang mengamanatkan hak gadai sebagai hak yang bersifat sementara dan diupayakan hapus dalam waktu yang singkat.
Untuk menindak lanjutinya maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dalam Pasal 7, yang menyebutkan mengenai batas waktu penebusan gadai atas tanah pertanian yaitu sebagai berikut :
1. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaranuang tebusan.
2. Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung7 (tujuh) tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk meminta kembalisetiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang telah ditentukan dan dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai di panen.
3. Ketentuan dalam ayat (2) dua Pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.
Ketentuan yang termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luasnya Tanah Pertanian ini dimaksudkan pula untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah yaitu petani, yang karena berada dalam keadaan mendesak dan memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya sehingga mereka menggadaikan tanah sawahnya dalam tenggang waktu 7 (tujuh) tahun.
Dalam waktu inilah si penerima gadai dianggap telah cukup banyak mengambil/memperoleh manfaat dari sawah tersebut sehingga telah memperoleh kembali uang gadai yang telah dikeluarkannya.
Namun jika ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diterapkan secara mutlak dalam masyarakat, maka ada beberapa kelemahan yang terdapat didalamnya. Yakni tidak ada pertimbangan mengenai hasil yang diperoleh oleh penerima gadai selama waktu gadai. Dimana bisa saja terjadi keuntungan / manfaat dari tanah yang tidak sebanding dengan uang gadai yang dibayarnya kepada pemberi gadai, karena mungkin saja tanah yang digadaikan tersebut kurang subur, terjadi kegagalan panen atau tanah tersebut memang sengaja tidak diusahakan karena penerima gadai hanya bermaksud menolong pemberi gadai saja. 11
Jadi dengan demikian ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini tidak selamanya cocok untuk semua masyarakat Indonesia, dimana bagi pihak tertentu hal demikian dirasakan tidak memberikan keadilan. Disamping itu tidak pula cocok untuk semua pemegang gadai. Karena apabila ketentuan ini diberlakukan pada penerima gadai yang beritikad baik hanya untuk menolong pemberi gadai yang sedang memerlukan uang, maka mengembalikan tanah gadai tanpa adanya uang penebusan sangatlah tidak adil.
Selain itu ketentuan yang ada dalam pasal 7 ini dapat saja disalahgunakan oleh pemberi gadai yang mempunyai itikad tidak baik, yakni pemberi gadai yang sengaja menggadaikan tanah miliknya, kemudia dengan sengaja pula ia mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan. Sedangkan penerima gadai tidak mempunyai kekuasaan untuk menuntut pemberi gadai (pemilik tanah) untuk menebus tanah miliknya, hingga setelah lampau 7 tahun pemberi gadai dapat mengambil kembali tanah miliknya tanpa harus membayar tebusan. Oleh karena itulah pasal ini dianggap tidak efektif bagi masyarakat Indonesia, sehingga mereka lebih memilih tetap berpegang pada ketentuan gadai tanah menurut hukum adat yang tidak mengenal daluwarsa. 12
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini, juga diberlakukan untuk gadai dengan objek gadai tanah-tanah pekarangan dan rumah melalui Keputusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1976 Nomor 38 K / Sip / 1961, namun karena pasal ini dianggap tidak efektif didalam masyarakat maka mereka juga tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan gadai dalam hukum adat, dengan demikian bila dan kapan waktu penebusan kembali rumah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh pemberi gadai adalah terserah pada kehendak dan kemampuan si pemberi gadai itu sendiri. Ini berarti dalam perjanjian gadai atas rumah tinggal waktu gadai ditentukan berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dan apabila pemberi gadai belum mampu untuk menebus kembali rumah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai, Penerima gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada pemberi gadai untuk segera menebus kembali rumah yang telah digadaikannya tersebut. Jika penerima gadai berada dalam keadaan membutuhkan uang sedangkan pemberi gadai (pemilik rumah) belum mampu untuk menebus kembali rumah yang dijadikannya sebagai objek gadai, maka penerima gadai dapat “mengalihkan gadai” atau “memindahkan gadai” dan “menganakgadaikannya”. Kedua tindakan ini merupakan bentuk perlindungan kepentingan bagi si penerima gadai.
Dalam lembaga jaminan gadai ini, hak untuk menebus dan hak untuk menguasai tanah yang telah digadaikan, dapat diwariskan kepada waris ataupun ahli waris apabila pemberi gadai ataupun penerima gadai telah meninggal dunia.
Mengenai ukuran panjang pendeknya waktu dari gadai tanah ini, sangat bergantung pada harga gadai, apabila harga gadai yang ditetapkan cukup tinggi, maka waktu gadainya pun menjadi lebih panjang, namun apabila harga gadai rendah, waktu gadai menjadi lebih singkat.
Waktu gadai, objek gadai, harga gadai (nilai atas objek gadai), serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara para pihak dituangkan dalam sebuah perjanjian gadai tanah yang bersifat tertulis. Meskipun pada dasarnya hukum adat tidak mengenal tulisan sebagai alat bukti dalam suatu perbuatan hukum yang dibuat oleh warganya. Namun apabila melihat pada kelebihan dari bentuk perjanjian gadai adat yang dibuat secara tertulis dan lisan, maka perjanjian gadai adat yang dibuat dalam bentuk tulisan akan lebih kuat dan memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dibandingkan perjanjian yang dibuat hanya dalam bentuk lisan saja.
Pada kenyataannya sebagian besar masyarakat lebih sering menggunakan bentuk perjanjian secara lisan dibandingkan tulisan. Mereka belum menyadari bahwa perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa di kemudian hari.
Perjanjian gadai tanah yang dibuat secara lisan hanya dilandasi dengan kepercayaan dan itikad baik dari kedua belah pihak, mungkin hal ini dilakukan karena kedua belah pihak tidak ingin merusak hubungan baik antara mereka dengan membuat surat perjanjian yang seakan-akan tidak ada kepercayaan diantara mereka. 13
Dengan seringkalinya terjadi hal seperti ini, maka timbullah berbagai masalah di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian gadai tanah. Yang salah satunya adalah mengenai batas waktu penebusan tanah sebagai objek gadai. Karena tidak adanya ketentuan yang tertulis dan bersifat pasti mengeni batas waktu penebusan ini, sehingga pemberi gadai dengan leluasa dapat mengulur-ulur waktu dilakukannya penebusan yang berakibat kerugian bagi penerima gadai.
Sedangkan dalam perjanjian gadai adat tanah yang dibuat secara tertulis, biasanya dituangkan diatas sehelai surat bermaterai ( surat segel ) yang berisi mengenai objek gadai, waktu gadai dan nilai gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak dengan dibubuhi tanda tangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan beberapa orang saksi, hal ini lebih memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. 14
Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah (pemberi gadai) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah ( pemberi gadai ) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Namun perjanjian gadai adat tanah yang dibuat dalam bentuk tertulis ini tidak menutup kemungkinan timbulnya masalah di kemudian hari, karena adakalanya si pemilik rumah ( pemberi gadai ), sekalipun waktu penebusan tanah yang merupakan objek gadai telah sampai, pemberi gadai ( pemilik tanah ) belum mampu untuk menggunakan hak tebusnya terhadap tanah yang telah digadaikan tersebut. Peristiwa seperti ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan “wanprestasi”, yang terjadi apabila si berhutang ( debitur ) tidak menepati apa yang telah dijanjikannya dalam perjanjian semula.
Wujud dari wanprestasi itu sendiri adalah sebagai berikut 15 :
a. Tidak melaksanakan apa yang telah disanggupinya semula dalam perjanjian ;
b. Melaksanakan apa yang telah dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan isi perjanjian ;
c. Melaksanakan apa yang telah dijanjikan tetapi terlambat ;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Untuk kelalaian yang telah dilakukan oleh debitur ini maka debitur selaku orang yang berkewajiban untuk melakukan sesuatu, diancam dengan beberapa sanksi atau hukuman yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni sebagai berikut :
a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan kata lain disebut ganti rugi ;
b. Pembatalan perjanjian ;
c. Pembatalan perjanjian dan ganti rugi ;
d. Ganti rugi dan pemenuhan perjanjian.
Mengenai sanksi terhadap pihak yang melakukan wanprestasi ini di dalam lembaga jual beli dengan hak membeli kembali, yang diatur dalam pasal 1519 dan 1532 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila si pembeli tidak menggunakan haknya setelah lebih dari lima tahun, maka si pembeli akan menjadi pemilik dari benda yang dijadikan objek jual beli dengan hak membeli kembali ini.
Namun hal seperti yang telah diuraikan diatas, tidak berlaku dalam perjanjian gadai tanah dalam hukum adat, karena perjanjian gadai tanah yang dibuat oleh masyarakat, lahir berdasarkan sistem hukum adat yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan tolong menolong di antara sesama manusia. Selain itu waktu penebusan gadai dalam hukum adat bersifat tidak mengikat dan mutlak.
Jadi apabila pemilik tanah (pemberi gadai) belum mampu untuk menebus kembali tanah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan istilah wanprestasi tadi, maka penerima gadai tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk si pemilik tanah ( pemberi gadai ) segera menggunakan hak tebusnya tanah tersebut. Penerima gadai juga tidak bisa memberikan hukuman ( sanksi ) seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut kepada si pemilik tanah (penerima gadai). Sehingga dengan demikian wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian gadai tanah dalam hukum adat ini tidak mempunyai sanksi hukum yang memberatkan pemberi gadai ( pemilik tanah ).
Walaupun masa tenggang waktu penebusan kembali tanah yang dijadikan sebagai objek gadai telah berakhir, pemberi gadai ( pemilik tanah ) setiap waktu dapat saja menggunakan hak tebusnya meskipun masa perjanjian telah lama berakhir, hak tebusnya ini tidak akan hilang karena daluwarsa ( verjaring ) atau dengan kata lain akan tetap ada.
Jadi apabila pada saat pelaksanaan perjanjian gadai tanah terjadi suatu peristiwa, dimana pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu untuk menebus kembali tanah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, maka upaya penyelesaiannya dapat dilakukan dengan jalan memperpanjang perjanjian gadai tanah tersebut, dengan ataupun tanpa disertai tambahan uang pinjaman, hal ini dapat terjadi apabila kedua belah pihak mengadakan kesepakatan lagi.
Upaya selanjutnya yang dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah tidak dapat ditebusnya tanah yang merupakan objek gadai oleh pemiliknya, adalah penerima gadai dapat menggadaikan kembali ( mengalih gadaikan ) tanah tersebut kepada pihak lain dengan ataupun tanpa persetujuan si pemilik tanah ( pemberi gadai ), hal ini dapat terjadi apabila penerima gadai dalam keadaan sangat memerlukan uang, sedangkan si pemberi gadai belum mampu untuk menggunakan hak tebusnya karena belum mempunyai uang misalnya.
Upaya lainnya adalah dengan menjual tanah yang dijadikan sebagai objek gadai tersebut kepada si penerima gadai ataupun kepada pihak lainnya.
Dengan demikian apabila pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu menebus kembali tanah yang merupakan objek gadai sedangkan waktu penebusannya telah lewat, maka tanah tersebut tidak bisa langsung menjadi milik si penerima gadai secara otomatis, karena perlu diadakannya suatu transaksi lagi seperti tersebut diatas. Namun apabila tanah yang menjadi objek gadai dijual oleh pemberi gadai kepada pihak lain, maka hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk mengembalikan uang milik penerima gadai, dan kelebihan dari hasil penjualan dikembalikan pada pemilik kebendaan semula (pemberi gadai). 16
Selain itu terkadang dalam suatu perjanjian gadai mencantumkan ketentuan (klausula) yang menyatakan bahwa apabila uang gadai tidak ditebus dalam waktu yang telah ditentukan maka tanah yang digadaikan akan menjadi milik penerima gadai.
Dalam perkembangan praktik di Pengadilan, ternyata putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1961 K / Sip / 1961, mendasarkan putusannya kepada hukum adat, yaitu :
“ Apabila dalam perjanjian gadai tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana tanah harus ditebus, hal ini tidak berarti bahwa setelah waktu gadai itu lampau tanpa tebusan tanahnya dengan sendirinya tanah gadai menjadi milik si pemegang gadai, melainkan harus ada suatu tindakan penegasan yang konkrit. “ 17
Selain itu juga dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 Maret 1960 Nomor 45 K / Sip / 1960, yang menyatakan sebagai berikut :
“ Jual gadai sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya si pemegang gadai, tidak berarti bahwa setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan, sawah itu dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai , untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain. “ 18
Dengan berdasarkan pada kedua putusan Mahkamah Agung diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam hal perjanjian gadai menurut hukum adat, apabila terdapat suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian mengenai tanah yang tidak ditebus dalam waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka tanah akan menjadi milik penerima gadai. Ketentuan ( klausula ) tersebut harus diartikan, bahwa untuk mendapatkan hak milik atas tanah tersebut, penerima gadai harus melakukan tindakan hukum lain, yakni meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia sebagai penerima gadai ditetapkan sebagai pemilik. Pengadilan dalam hal mengambil keputusan harus berdasarkan pada suatu kebijaksanaan, misalnya dengan memberikan tempo waktu lagi kepada pemberi gadai untuk dapat menebus kembali tanah miliknya. Namun apabila penebusan tidak dilakukan, maka barulah tanah itu menjadi milik si penerima gadai dan apabila perlu dengan menambah uang gadai kepada pemberi gadai.
Dengan demikian peralihan hak milik dalam hal ini tidaklah terjadi secara serta merta atau otomatis, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan lebih lanjut atau suatu tindakan hukum lain seperti yang disebutkan dalam penjelasan mengenai keputusan Mahkamah Agung tadi.
Jadi dapat dipahami, dengan berdasarkan pada sifat hukum adat yang selalu mengutamakan asas kekeluargaan dan tolong menolong, tidak dibenarkan apabila waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mempunyai cukup uang atau dengan kata lain belum mampu untuk menebus kembali tanah yang telah digadaikannya, penerima gadai memaksakan kehendaknya agar pemberi gadai segera menebus tanah miliknya tersebut. Dalam hal ini penerima gadailah yang seharusnya berinisiatif, apabila ia berada dalam keadaan sangat membutuhkan uang maka ia dapat melakukan perjanjian gadai yang baru untuk memenuhi kebutuhannya itu. Jangan sampai pemberi gadai menjual harta benda miliknya atau bahkan menjual tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai tersebut untuk melunasi harga gadai. Karena hal ini sangat bertentangan dengan tujuan awal dari dilakukannya perjanjian gadai tersebut.
Tanah yang dijadikan sebagai objek gadai dan belum ditebus oleh pemberi gadai pada waktu yang telah diperjanjikan, tidak serta merta menjadi hak milik penerima gadai. Untuk dapat menjadi hak milik penerima gadai, maka hal ini harus dicantumkan sebagai salah satu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian gadai yang telah disepakati bersama tanpa adanya unsur keterpaksaan. Akan tetapi meskipun telah dijadikan sebagai suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian, peralihan hak milik ini tetap memerlukan suatu tindakan hukum. Yakni dengan pengajuan permohonan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh penerima gadai ke Pengadilan Negeri.
Dan dalam hal ini karena upaya hukum yang dilakukan oleh penerima gadai dalam rangka peralihan hak milik ini melalui Pengadilan sifatnya berupa permohonan, maka tidaklah berarti secara apriori Pengadilan mengabulkannya.
Mengenai masa tenggang waktu berlangsungnya perjanjian gadai tanah ini juga mengenai nilai objek gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak hanya dapat dituangkan di dalam sebuah perjanjian yang berbentuk tertulis. Karena apabila perjanjian gadai tanah hanya dibuat dalam bentuk lisan saja dengan berdasarkan kepercayaan semata, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan pada saat terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian di kemudian hari.
Pelaksanaan perjanjian gadai tanah ini biasanya memakan waktu yang cukup lama, dengan tidak adanya bukti yang tertulis, pemberi gadai ( pemilik rumah ) akan menemukan kesulitan pada waktu tanah yang menjadi objek gadai akan ditebus kembali, sedangkan penerima gadai menolaknya dengan alasan, bahwa perjanjian yang mereka lakukan dahulu adalah perjanjian jual lepas, bukan gadai. Dengan terjadinya peristiwa seperti ini di dalam masyarakat, barulah mereka menyadari manfaat perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis.