Rabu, 22 November 2017

Syarat Pendaftaran Kartu Petunjuk Penggunaan dan Kartu Garansi Produk Elektrinika/Telematika



PERSYATAN PERIZINAN :

Sebagai Produsen :
Dokumen Perizinan: 

Dokumen PersyaratanKategori DokumenSyarat
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)UmumWajib
Dokumen PIB dan Dokumen SSPCP/billing/DJBC/ bukti penerimaan negara.UmumWajib
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)UmumWajib
Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai jaminan ketersediaan suku cadang dan memiliki pusat pelayanan purna jual (service center)UmumWajib
Surat perjanjian kerjasama dengan pusat pelayanan purna jual (service center) milik perusahaan lain bagi produsen yang tidak memiliki pusat pelayanan purna jual (service center)UmumWajib
Contoh petunjuk penggunaan dan kartu jaminan dengan memuat informasiUmumWajib
Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai kesesuaian isi petunjuk penggunaan dengan produk telematika dan elektronikaUmumWajib
Rekomendasi dari Bupati/Walikota dalam hal ini Kepala Dinas kabupaten/kota setempat, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta bagi produsen yang belum memiliki tanda pendaftaranUmumWajib
Angka Pengenal Impor (API)
 

Sebagai Importir :
Dokumen Perizinan:
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)UmumWajib
Dokumen PIB dan Dokumen SSPCP/billing/DJBC/ bukti penerimaan negara.UmumWajib
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)UmumWajib
Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai jaminan ketersediaan suku cadang dan memiliki pusat pelayanan purna jual (service center)UmumWajib
Surat perjanjian kerjasama dengan pusat pelayanan purna jual (service center) milik perusahaan lain bagi produsen yang tidak memiliki pusat pelayanan purna jual (service center)UmumWajib
Contoh petunjuk penggunaan dan kartu jaminan dengan memuat informasiUmumWajib
Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai kesesuaian isi petunjuk penggunaan dengan produk telematika dan elektronikaUmumWajib
Rekomendasi dari Bupati/Walikota dalam hal ini Kepala Dinas kabupaten/kota setempat, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta bagi produsen yang belum memiliki tanda pendaftaranUmumWajib
Angka Pengenal Impor (API)

Selasa, 10 Oktober 2017

Upaya Penyelesaian Permasalahan Perselisihan atau Konflik Waktu Perjanjian Gadai Tanah.

Upaya Penyelesaian Permasalahan Perselisihan atau Konflik Waktu Perjanjian Gadai Tanah.

Hasil gambar untuk gambar sawah
Salah satu diantara hal yang sangat rentan dapat menimbulkan permasalahan dan konflik dalam perjanjian gadai tanah diantara para pihak yang melakukan perjanjian ini ialah mengenai waktu gadai yang merupakan masa atau lamanya barang gadai berada di tangan penerima gadai hingga sampai pada saat pemberi gadai dapat menebusnya kembali.

Waktu gadai tanah merupakan satu bagian penting dalam perjanjian transaksi gadai, sehingga memerlukan kepastian masa berakhirnya.

Dalam hukum adat, upaya yang dapat dilakukan agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian, waktu penebusan gadai tanah tersebut terserah kepada pemberi gadai, akan tetapi hal ini tidak berarti pemberi gadai bebas mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan, sehingga dapat merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai yang tidak diusahakan. Untuk tanah gadai yang diusahakan harus memperhatikan hal-hal berikut :

a. Untuk tanah sawah, jika yang mengerjakan sawah itu penerima gadai, maka pemberi gadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah tanaman dipanen, atau “hak ketam” (memungut hasil tanaman/panen) tetap berada pada pemilik tanaman atau penggarap tanaman itu, kecuali disepakati kedua belah pihak bahwa pemberi gadai mengganti kerugian yang diminta penerima gadai/penggarap.

b. Untuk tebat atau tanah perikanan yang diusahakan pemberi gadai harus memberikan kesempatan bagi penerima gadai/pengusaha perikanan tersebut untuk menikmati hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya demikian pula untuk buah-buahan kesempatan panen bagu penerima gadai/penggarapnya harus diberikan.

Mengenai gadai khususnya tanah pertanian yang semula diatur oleh hukum adat, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yakni dalam Pasal 53 yang mengamanatkan hak gadai sebagai hak yang bersifat sementara dan diupayakan hapus dalam waktu yang singkat.

Untuk menindak lanjutinya maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dalam Pasal 7, yang menyebutkan mengenai batas waktu penebusan gadai atas tanah pertanian yaitu sebagai berikut :

1. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaranuang tebusan.

2. Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung7 (tujuh) tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk meminta kembalisetiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang telah ditentukan dan dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai di panen.

3. Ketentuan dalam ayat (2) dua Pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.

Ketentuan yang termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luasnya Tanah Pertanian ini dimaksudkan pula untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah yaitu petani, yang karena berada dalam keadaan mendesak dan memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya sehingga mereka menggadaikan tanah sawahnya dalam tenggang waktu 7 (tujuh) tahun.

Dalam waktu inilah si penerima gadai dianggap telah cukup banyak mengambil/memperoleh manfaat dari sawah tersebut sehingga telah memperoleh kembali uang gadai yang telah dikeluarkannya.

Namun jika ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diterapkan secara mutlak dalam masyarakat, maka ada beberapa kelemahan yang terdapat didalamnya. Yakni tidak ada pertimbangan mengenai hasil yang diperoleh oleh penerima gadai selama waktu gadai. Dimana bisa saja terjadi keuntungan / manfaat dari tanah yang tidak sebanding dengan uang gadai yang dibayarnya kepada pemberi gadai, karena mungkin saja tanah yang digadaikan tersebut kurang subur, terjadi kegagalan panen atau tanah tersebut memang sengaja tidak diusahakan karena penerima gadai hanya bermaksud menolong pemberi gadai saja. 11

Jadi dengan demikian ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini tidak selamanya cocok untuk semua masyarakat Indonesia, dimana bagi pihak tertentu hal demikian dirasakan tidak memberikan keadilan. Disamping itu tidak pula cocok untuk semua pemegang gadai. Karena apabila ketentuan ini diberlakukan pada penerima gadai yang beritikad baik hanya untuk menolong pemberi gadai yang sedang memerlukan uang, maka mengembalikan tanah gadai tanpa adanya uang penebusan sangatlah tidak adil.

Selain itu ketentuan yang ada dalam pasal 7 ini dapat saja disalahgunakan oleh pemberi gadai yang mempunyai itikad tidak baik, yakni pemberi gadai yang sengaja menggadaikan tanah miliknya, kemudia dengan sengaja pula ia mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan. Sedangkan penerima gadai tidak mempunyai kekuasaan untuk menuntut pemberi gadai (pemilik tanah) untuk menebus tanah miliknya, hingga setelah lampau 7 tahun pemberi gadai dapat mengambil kembali tanah miliknya tanpa harus membayar tebusan. Oleh karena itulah pasal ini dianggap tidak efektif bagi masyarakat Indonesia, sehingga mereka lebih memilih tetap berpegang pada ketentuan gadai tanah menurut hukum adat yang tidak mengenal daluwarsa. 12

Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini, juga diberlakukan untuk gadai dengan objek gadai tanah-tanah pekarangan dan rumah melalui Keputusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1976 Nomor 38 K / Sip / 1961, namun karena pasal ini dianggap tidak efektif didalam masyarakat maka mereka juga tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan gadai dalam hukum adat, dengan demikian bila dan kapan waktu penebusan kembali rumah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh pemberi gadai adalah terserah pada kehendak dan kemampuan si pemberi gadai itu sendiri. Ini berarti dalam perjanjian gadai atas rumah tinggal waktu gadai ditentukan berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dan apabila pemberi gadai belum mampu untuk menebus kembali rumah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai, Penerima gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada pemberi gadai untuk segera menebus kembali rumah yang telah digadaikannya tersebut. Jika penerima gadai berada dalam keadaan membutuhkan uang sedangkan pemberi gadai (pemilik rumah) belum mampu untuk menebus kembali rumah yang dijadikannya sebagai objek gadai, maka penerima gadai dapat “mengalihkan gadai” atau “memindahkan gadai” dan “menganakgadaikannya”. Kedua tindakan ini merupakan bentuk perlindungan kepentingan bagi si penerima gadai.

Dalam lembaga jaminan gadai ini, hak untuk menebus dan hak untuk menguasai tanah yang telah digadaikan, dapat diwariskan kepada waris ataupun ahli waris apabila pemberi gadai ataupun penerima gadai telah meninggal dunia.

Mengenai ukuran panjang pendeknya waktu dari gadai tanah ini, sangat bergantung pada harga gadai, apabila harga gadai yang ditetapkan cukup tinggi, maka waktu gadainya pun menjadi lebih panjang, namun apabila harga gadai rendah, waktu gadai menjadi lebih singkat.

Waktu gadai, objek gadai, harga gadai (nilai atas objek gadai), serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara para pihak dituangkan dalam sebuah perjanjian gadai tanah yang bersifat tertulis. Meskipun pada dasarnya hukum adat tidak mengenal tulisan sebagai alat bukti dalam suatu perbuatan hukum yang dibuat oleh warganya. Namun apabila melihat pada kelebihan dari bentuk perjanjian gadai adat yang dibuat secara tertulis dan lisan, maka perjanjian gadai adat yang dibuat dalam bentuk tulisan akan lebih kuat dan memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dibandingkan perjanjian yang dibuat hanya dalam bentuk lisan saja.

Pada kenyataannya sebagian besar masyarakat lebih sering menggunakan bentuk perjanjian secara lisan dibandingkan tulisan. Mereka belum menyadari bahwa perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa di kemudian hari.

Perjanjian gadai tanah yang dibuat secara lisan hanya dilandasi dengan kepercayaan dan itikad baik dari kedua belah pihak, mungkin hal ini dilakukan karena kedua belah pihak tidak ingin merusak hubungan baik antara mereka dengan membuat surat perjanjian yang seakan-akan tidak ada kepercayaan diantara mereka. 13

Dengan seringkalinya terjadi hal seperti ini, maka timbullah berbagai masalah di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian gadai tanah. Yang salah satunya adalah mengenai batas waktu penebusan tanah sebagai objek gadai. Karena tidak adanya ketentuan yang tertulis dan bersifat pasti mengeni batas waktu penebusan ini, sehingga pemberi gadai dengan leluasa dapat mengulur-ulur waktu dilakukannya penebusan yang berakibat kerugian bagi penerima gadai.

Sedangkan dalam perjanjian gadai adat tanah yang dibuat secara tertulis, biasanya dituangkan diatas sehelai surat bermaterai ( surat segel ) yang berisi mengenai objek gadai, waktu gadai dan nilai gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak dengan dibubuhi tanda tangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan beberapa orang saksi, hal ini lebih memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. 14

Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah (pemberi gadai) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.

Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah ( pemberi gadai ) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.

Namun perjanjian gadai adat tanah yang dibuat dalam bentuk tertulis ini tidak menutup kemungkinan timbulnya masalah di kemudian hari, karena adakalanya si pemilik rumah ( pemberi gadai ), sekalipun waktu penebusan tanah yang merupakan objek gadai telah sampai, pemberi gadai ( pemilik tanah ) belum mampu untuk menggunakan hak tebusnya terhadap tanah yang telah digadaikan tersebut. Peristiwa seperti ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan “wanprestasi”, yang terjadi apabila si berhutang ( debitur ) tidak menepati apa yang telah dijanjikannya dalam perjanjian semula.

Wujud dari wanprestasi itu sendiri adalah sebagai berikut 15 :

a. Tidak melaksanakan apa yang telah disanggupinya semula dalam perjanjian ;

b. Melaksanakan apa yang telah dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan isi perjanjian ;

c. Melaksanakan apa yang telah dijanjikan tetapi terlambat ;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Untuk kelalaian yang telah dilakukan oleh debitur ini maka debitur selaku orang yang berkewajiban untuk melakukan sesuatu, diancam dengan beberapa sanksi atau hukuman yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni sebagai berikut :

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan kata lain disebut ganti rugi ;

b. Pembatalan perjanjian ;

c. Pembatalan perjanjian dan ganti rugi ;

d. Ganti rugi dan pemenuhan perjanjian.

Mengenai sanksi terhadap pihak yang melakukan wanprestasi ini di dalam lembaga jual beli dengan hak membeli kembali, yang diatur dalam pasal 1519 dan 1532 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila si pembeli tidak menggunakan haknya setelah lebih dari lima tahun, maka si pembeli akan menjadi pemilik dari benda yang dijadikan objek jual beli dengan hak membeli kembali ini.

Namun hal seperti yang telah diuraikan diatas, tidak berlaku dalam perjanjian gadai tanah dalam hukum adat, karena perjanjian gadai tanah yang dibuat oleh masyarakat, lahir berdasarkan sistem hukum adat yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan tolong menolong di antara sesama manusia. Selain itu waktu penebusan gadai dalam hukum adat bersifat tidak mengikat dan mutlak.

Jadi apabila pemilik tanah (pemberi gadai) belum mampu untuk menebus kembali tanah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan istilah wanprestasi tadi, maka penerima gadai tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk si pemilik tanah ( pemberi gadai ) segera menggunakan hak tebusnya tanah tersebut. Penerima gadai juga tidak bisa memberikan hukuman ( sanksi ) seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut kepada si pemilik tanah (penerima gadai). Sehingga dengan demikian wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian gadai tanah dalam hukum adat ini tidak mempunyai sanksi hukum yang memberatkan pemberi gadai ( pemilik tanah ).

Walaupun masa tenggang waktu penebusan kembali tanah yang dijadikan sebagai objek gadai telah berakhir, pemberi gadai ( pemilik tanah ) setiap waktu dapat saja menggunakan hak tebusnya meskipun masa perjanjian telah lama berakhir, hak tebusnya ini tidak akan hilang karena daluwarsa ( verjaring ) atau dengan kata lain akan tetap ada.

Jadi apabila pada saat pelaksanaan perjanjian gadai tanah terjadi suatu peristiwa, dimana pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu untuk menebus kembali tanah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, maka upaya penyelesaiannya dapat dilakukan dengan jalan memperpanjang perjanjian gadai tanah tersebut, dengan ataupun tanpa disertai tambahan uang pinjaman, hal ini dapat terjadi apabila kedua belah pihak mengadakan kesepakatan lagi.

Upaya selanjutnya yang dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah tidak dapat ditebusnya tanah yang merupakan objek gadai oleh pemiliknya, adalah penerima gadai dapat menggadaikan kembali ( mengalih gadaikan ) tanah tersebut kepada pihak lain dengan ataupun tanpa persetujuan si pemilik tanah ( pemberi gadai ), hal ini dapat terjadi apabila penerima gadai dalam keadaan sangat memerlukan uang, sedangkan si pemberi gadai belum mampu untuk menggunakan hak tebusnya karena belum mempunyai uang misalnya.

Upaya lainnya adalah dengan menjual tanah yang dijadikan sebagai objek gadai tersebut kepada si penerima gadai ataupun kepada pihak lainnya.

Dengan demikian apabila pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu menebus kembali tanah yang merupakan objek gadai sedangkan waktu penebusannya telah lewat, maka tanah tersebut tidak bisa langsung menjadi milik si penerima gadai secara otomatis, karena perlu diadakannya suatu transaksi lagi seperti tersebut diatas. Namun apabila tanah yang menjadi objek gadai dijual oleh pemberi gadai kepada pihak lain, maka hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk mengembalikan uang milik penerima gadai, dan kelebihan dari hasil penjualan dikembalikan pada pemilik kebendaan semula (pemberi gadai). 16

Selain itu terkadang dalam suatu perjanjian gadai mencantumkan ketentuan (klausula) yang menyatakan bahwa apabila uang gadai tidak ditebus dalam waktu yang telah ditentukan maka tanah yang digadaikan akan menjadi milik penerima gadai.

Dalam perkembangan praktik di Pengadilan, ternyata putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1961 K / Sip / 1961, mendasarkan putusannya kepada hukum adat, yaitu :

“ Apabila dalam perjanjian gadai tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana tanah harus ditebus, hal ini tidak berarti bahwa setelah waktu gadai itu lampau tanpa tebusan tanahnya dengan sendirinya tanah gadai menjadi milik si pemegang gadai, melainkan harus ada suatu tindakan penegasan yang konkrit. “ 17


Selain itu juga dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 Maret 1960 Nomor 45 K / Sip / 1960, yang menyatakan sebagai berikut :

“ Jual gadai sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya si pemegang gadai, tidak berarti bahwa setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan, sawah itu dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai , untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain. “ 18


Dengan berdasarkan pada kedua putusan Mahkamah Agung diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam hal perjanjian gadai menurut hukum adat, apabila terdapat suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian mengenai tanah yang tidak ditebus dalam waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka tanah akan menjadi milik penerima gadai. Ketentuan ( klausula ) tersebut harus diartikan, bahwa untuk mendapatkan hak milik atas tanah tersebut, penerima gadai harus melakukan tindakan hukum lain, yakni meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia sebagai penerima gadai ditetapkan sebagai pemilik. Pengadilan dalam hal mengambil keputusan harus berdasarkan pada suatu kebijaksanaan, misalnya dengan memberikan tempo waktu lagi kepada pemberi gadai untuk dapat menebus kembali tanah miliknya. Namun apabila penebusan tidak dilakukan, maka barulah tanah itu menjadi milik si penerima gadai dan apabila perlu dengan menambah uang gadai kepada pemberi gadai.

Dengan demikian peralihan hak milik dalam hal ini tidaklah terjadi secara serta merta atau otomatis, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan lebih lanjut atau suatu tindakan hukum lain seperti yang disebutkan dalam penjelasan mengenai keputusan Mahkamah Agung tadi.

Jadi dapat dipahami, dengan berdasarkan pada sifat hukum adat yang selalu mengutamakan asas kekeluargaan dan tolong menolong, tidak dibenarkan apabila waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mempunyai cukup uang atau dengan kata lain belum mampu untuk menebus kembali tanah yang telah digadaikannya, penerima gadai memaksakan kehendaknya agar pemberi gadai segera menebus tanah miliknya tersebut. Dalam hal ini penerima gadailah yang seharusnya berinisiatif, apabila ia berada dalam keadaan sangat membutuhkan uang maka ia dapat melakukan perjanjian gadai yang baru untuk memenuhi kebutuhannya itu. Jangan sampai pemberi gadai menjual harta benda miliknya atau bahkan menjual tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai tersebut untuk melunasi harga gadai. Karena hal ini sangat bertentangan dengan tujuan awal dari dilakukannya perjanjian gadai tersebut.

Tanah yang dijadikan sebagai objek gadai dan belum ditebus oleh pemberi gadai pada waktu yang telah diperjanjikan, tidak serta merta menjadi hak milik penerima gadai. Untuk dapat menjadi hak milik penerima gadai, maka hal ini harus dicantumkan sebagai salah satu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian gadai yang telah disepakati bersama tanpa adanya unsur keterpaksaan. Akan tetapi meskipun telah dijadikan sebagai suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian, peralihan hak milik ini tetap memerlukan suatu tindakan hukum. Yakni dengan pengajuan permohonan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh penerima gadai ke Pengadilan Negeri.

Dan dalam hal ini karena upaya hukum yang dilakukan oleh penerima gadai dalam rangka peralihan hak milik ini melalui Pengadilan sifatnya berupa permohonan, maka tidaklah berarti secara apriori Pengadilan mengabulkannya.

Mengenai masa tenggang waktu berlangsungnya perjanjian gadai tanah ini juga mengenai nilai objek gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak hanya dapat dituangkan di dalam sebuah perjanjian yang berbentuk tertulis. Karena apabila perjanjian gadai tanah hanya dibuat dalam bentuk lisan saja dengan berdasarkan kepercayaan semata, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan pada saat terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian di kemudian hari.

Pelaksanaan perjanjian gadai tanah ini biasanya memakan waktu yang cukup lama, dengan tidak adanya bukti yang tertulis, pemberi gadai ( pemilik rumah ) akan menemukan kesulitan pada waktu tanah yang menjadi objek gadai akan ditebus kembali, sedangkan penerima gadai menolaknya dengan alasan, bahwa perjanjian yang mereka lakukan dahulu adalah perjanjian jual lepas, bukan gadai. Dengan terjadinya peristiwa seperti ini di dalam masyarakat, barulah mereka menyadari manfaat perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis.

Selasa, 29 Agustus 2017

Yang Perlu Diperhatikan Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)


Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah perjanjian antara calon pembeli dan calon penjual obyek tanah dan bangunan yang dibuat sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB). Karena obyek tanah dan bangunan termasuk dalam benda tidak bergerak (benda tetap) yang pengalihannya (jual beli) harus dibuat dengan akta Notaris/PPAT dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB), maka sebelum dibuatnya AJB biasanya perlu dilakukan serangkaian persiapan. Bagi pemilik tanah perorangan, misalnya, calon pembeli biasanya perlu melakukan pengecekan tanah ke kantor pertanahan, sementara calon penjual perlu meminta uang muka sebagai tanda keseriusan. Bagi perusahaan developer, misalnya, PPJB biasanya digunakan untuk memperoleh dana awal (uang muka) dari konsumen untuk memperlancar pembangunan rumah/apartemen.

Dalam rangka pemeriksaan ke kantor pertanahan dan pembayaran uang muka tersebut, atau untuk memperlancar dana pembangunan bagi perusahaan developer, maka diperlukan adanya PPJB sebagai ikatan awal keseriusan para pihak untuk bertransaksi. Dalam ikatan awal tersebut biasanya calon pembeli telah melakukan pembayaran awal (uang muka), sehingga jika calon pembeli tersebut membatalkan transaksi maka ia akan kehilangan uang mukanya. Dalam hal demikian, PPJB mengikat para pihak untuk sama-sama serius melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunan hingga ditandatanganinya AJB dan pelunasan.

Beberapa hal prinsip yang perlu diperhatikan dalam membuat PPJB:

1. Uraian obyek tanah dan bangunan harus jelas, antara lain luas tanah dan bangunan (jika perlu disertai peta bidang tanah dan bangunan), sertifikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan yang melekat pada obyek tanah dan bangunan tersebut.

2. Harga tanah per-meter dan harga total keseluruhan, serta cara pembayarannya (umumnya secara bertahap yang dilunasi pada saat AJB).

3. Syarat batal tertentu, misalnya jika ternyata tanahnya sedang dijaminkan ke pihak ketiga, atau tanahnya sedang bersengketa, atau pembangunannya tidak selesai dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka calon pembeli berhak membatalkannya.
4. Penegasan pembayaran pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak: kewajiban penjual membayar PPN dan kewajiban pembeli membayar BPHTB.

5. Biaya-biaya lainnya yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran, biaya Notaris/PPAT dan biaya lainnya.

Jumat, 17 Maret 2017

Tim Kuasa Hukum LBH-LPPNRI dan INDEPENDENT LAW FIRM mendampingi Cabup dan Cawabup Kabupaten Lanny Jaya dalam Sidang Perselisihan Hasil Pemilukada Papua 2017 di Mahkamah Konstitusi RI.

Calon Bupati dan Wakil Bupati Lanny Jaya Provinsi Papua Paslon No. Urut 1 BRIYUR WENDA dan PAULUS KOGOYA (BRIPAS) berfoto bersama tim kuasa hukum dari  LBH - LPPN RI dan INDEPENDENT LAW FIRM seusai sidang perdana sengketa Pilkada 2017 di MK (foto : ILF)



Sidang perdana yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Arief Hidayat, Kamis (16/3) siang, untuk mendengar permohonan sengketa Pilkada Lanny Jaya yang diajukan pemohon yakni pasangan Bripas yang didampingi kuasa hukumnya Supriono dan Yanuar Trisulo dari  LBH-LPPN RI dan INDEPENDENT LAW FIRM. Hadir juga dalam sidang, pihak Termohon yakni tergugat dalam hal ini KPU Kabupaten Lanny Jaya diwakili dua orang komisioner, Yakien Wenda dan Doren Wenda serta kuasa hukum termohon, Pieter Ell, Rahman Ramli dan David.
Supriono, salah satu kuasa hukum Bripas, usai sidang di MK, Kamis malam menjelaskan, pada dasarnya permohonan Bripas adalah keberatan terhadap Panwas Lanny Jaya, terutama terhadap tujuh distrik di Lanny Jaya yang menurut mereka ada beberapa masalah seperti tidak diberikannya C1 berhologram, kemudian ada pemberian Money Politik untuk memenangkan pasangan calon tertentu. terdapat Mobilisasi masa dari luar istrik masuk dalam DPT,  “Pemohon juga mengemukakan ada  aparatur sipil negara (ASN) yang terlilbat untuk memenangkan pasangan tertentu,” ungkap Supriono.
Yanuar Trisulo yang juga kuasa hukum dari Bripas  mengungkapkan kepada Majelis Pemohon meminta agar perolehan suara di tujuh distrik yang menurut mereka terjadi kecurangan, harus didiskualifikasi dan sisa suara tidak dihitung. Tujuh distrik itu antara lain, Distrik Poga, Kanu, Gelok Beam, Nikogwee, Milimbo, Melagi dan Bruwa.


Dugaan kecurangan yang sudah dilaporkan kepada Panwas Lanny Jaya, kata Yanuar, Briyur yang berpasangan dengan Paulus Kogoya itu, diantaranya warga ikut membantu menyita satu unit kendaraan roda empat yang digunakan sebagai transportasi untuk menyebar politik uang kepada pemilih di Distrik Malagaineri. “Jadi mobil itu milik Kepala Dinas Pendidikan Alitinus Jigibalom yang sudah diserahkan kepada tim Gakkumdu dan Panwas Lanny Jaya. Alitinus membawa uang yang sangat banyak dan terlihat membawa tujuh amplop masing-masing berisi Rp. 5 juta yang siap disebar ke warga, namun keburu diketahui,” katanya.
Lalu, dugaan politik uang yang diberikan oleh pendukung nomor urut 2, Befa Yigibalom-Yemis Kogoya kepada warga di TPS dan KPPS di Distrik Gamelia. Bahkan ada oknum ASN Lanny Jaya di Kampung Kubagaluk, Distrik Yiluk memaksa masyarakat dan petugas KPPS disalah satu TPS agar 500 suara diberikan kepada pasangan nomor urut 2. “Yang di Gamelia itu petugas KPPS langsung melaporkan kepada Panwas distrik dan kabupaten. Sementara yang di Kampung Kubagaluk itu sudah ditindalanjuti ke penyelenggara,” katanya. Briyur yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten Nabire itu juga mengemukakan bahwa kepala Kampung Jilekme, Distrik Yiluk yang merupakan pendukung nomor 2, diduga bekerjasama dengan petugas KPPS untuk penggelembungan suara.  “Jadi, ada 60 surat suara yang fiktif di Kampung Jilekme, Distrik Yiluk,”  ujar Supriono.
Ada juga kecurangan yang terjadi di Distrik Poga yang mengakibatkan terjadinya penundaan pencoblosan pada Rabu (15/2) karena kotak suara diberikan tanpa cap. “Cap untuk melegalitaskan surat suara yang dicoblos nanti tidak disertakan dalam kotak suara, sehingga tidak terjadi pemungutan suara di Distrik Poga pada Rabu kemarin. Ini juga dilakukan oleh tim pemenangan nomor urut 2,” .
Bripas menduga bahwa sejumlah dugaan kecurangan Pilkada juga melibatkan oknum komisioner KPU Lany Jaya sehingga sejumlah tahapan ditingkat bawah tidak berjalan lancar. “Pilkada Lanny Jaya sarat dengan manipulasi, intimidasi dan money politik, apalagi penyelenggara jadi tim sukses, termasuk anggota KPU atas nama Tonius Jikwa yang datang ke Distrik Poga sehari sebelum pencoblosan, menggelar rapat dengan Panwas distrik, PPD, KPPS. Dan terbukti besoknya tidak ada pencoblosan di Poga,” ujar Yanuar.
Berbagai pelanggaran ini, kata dia, sudah di kumpulkan dan di dokumentasi dalam bentuk data dan video yang sudah diserahkan kepada Panwas Lanny Jaya. “Hanya saja, apakah laporan kami ini ditindaklanjuti oleh Panwas, karena ada indikasi ada oknum Panwas yang tidak independen. Apalagi ini hari terakhir pelaporan,” katanya. “Harapannya, berbagai kasus pelanggaran pilkada di Lanny Jaya bisa segera dipantau oleh Bawaslu dan KPU Papua agar membantu mengawal persoalan yang terjadi, sehingga proses memilih pemimpin bisa berjalan aman dan lancar tanpa ada intervensi pihak kepentingan,” nyatanya Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi penundaan rapat pleno keputusan dan tetap dilaksanakannya tanpa hadirnya paslon Bripas dan saksi.
Mendengar permohonan pemohon, majelis hakim lebih jauh menanyakan, menurut pemohon yang sebenarnya perhitungan suara bagaimana yang mereka maksud, “Pemohon meminta agar sisa suara yang ada jangan dihitung karena kalau dihitung akan merugikan pemohon khusus suara di tujuh distrik itu, dan dengan hasil pilkada yang syarat dengan kecurangan-kecurangan agar segera diproses terlebih dahulu sesuai UU Pidana Pemilu dan seharusnya Bawaslu menerbitkan rekomendasi untuk menunda rapat Pleno keputusan KPU sebelum kasus pelanggaran diselesaikan.
“Majelis akan mempertimbangkan pokok perkara baik posita dan petitum dari Pemohon, dan kemudian sidang ditunda sampai hari Selasa 21 Maret pukul 13.00 WIB,” dengan agenda Tanggapan dari Termohon,  ujar Supriono.

Agenda Proses Persidangan Sengketa Pilkada 2017

Image result for ruang sidang MK
Mulai Kamis (16/03) besok, Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang pendahuluan terhadap 50 permohonan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari 48 daerah tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Rinciannya, tingkat provinsi hanya 4 daerah yakni Banten, Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sisanya, 35 permohonan tingkat kabupaten, dan 9 permohonan tingkat kotamadya.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan dari 50 permohonan yang terdaftar ditangani 2 majelis panel. Panel diketuai oleh Ketua MK Arief Hidayat dan panel 2 diketuai oleh Wakil Ketua MK Anwar usman. “Sidang perdana Kamis dan Jumat (16-17/3) dikhususkan penyampaian semua materi permohonan. Setelah itu, para pemohon diminta memperbaiki permohonan hingga tanggal 22 Maret,” kata fajar di Gedung MK, Rabu (15/3/2017).

Setelah itu, atas penyampaian 50 materi permohonan ini, pada 20-24 Maret akan mendengar penyampaian jawaban dari termohon (KPUD) dan Pihak Terkait (pasangan pemenang). Lalu, pada 27-29 Maret masuk ke dalam pembahasan perkara dan pengambilan keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

“Kemudian pada 30 Maret diumumkan melalui pembacaan putusan dismissal. Selanjutnya, pembacaan putusan sela dan akhir pada 10-19 Mei,” kata Fajar. Baca Juga: Tanggal Ini, MK Jatuhkan Putusan Dismissal Sengketa Pilkada

Ada 27 perkara permohonan sengketa pilkada pada sidang pendahuluan Kamis (16/03). Diantaranya, Pilkada Kota Jayapura, Provinsi Banten, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Lanny Jaya, kota Payakumbuh, Kabupaten Buton, Provinsi Aceh, Kabupaten Buru, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Pidie, Kabupaten Buton Tengah.

Sementara pada Jum’at (17/3), ada 23 perkara permohonan sengketa pilkada yang disidangkan. Diantaranya, Provinsi Sulawesi Barat, Kota Kendari, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Buol, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Maluku Barat, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bombana, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pati, Kota Yogyakarta, Provinsi Gorontalo, Kabupaten Puncak Jaya, Kota Batu, Kota Salatiga.    

Selengkapnya Lihat Tabel Jadwal Proses Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2017 :
NoTahapanAgendaWaktu
1Sidang Panel/Pleno Pemeriksaan Pendahuluana.    Penjelasan permohonan pemohon
b.    Perbaikan permohonan pemohon apabila dipandang perlu pengesahan alat bukti
16-22 Maret 2017
2Sidang Panel/Pleno Pemeriksaan Persidangana.    Jawaban termohon
b.    Keterangan pihak terkait
20-24 Maret 2017
3RPHPembahasan perkara dan pengambilan putusan (dismissal)27-29 Maret 2017
4Sidang PlenoPengucapan putusan dismisal30 Maret–5 April 2017
5Sidang Panel/Pleno Pemeriksaan Persidangana.    Pembuktian pemohon, termohon dan pihak terkait
b.    Mendengar keterangan Bawaslu dan/atau DKPP
c.    Kesimpulan pemohon, termohon dan pihak terkait
6 April–2 Mei 2017
6RPHPembahasan perkara dan pengambilan putusan3-9 Mei 2017
7Sidang Pleno Pengucapan Putusan·         Putusan Sela
·         Putusan Akhir
10-19 Mei 2017

Sedangkan, dasar hukum pedoman dan prosedur penanganan sengketa pilkada mengacu UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) dan Peraturan MK No. 1 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.

Penanganan sidang sengketa pilkada tersebut juga dilengkapi dengan Peraturan MK No. 2 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada dengan Satu Pasangan Calon; Peraturan MK No. 3 Tahun 2017 tentang Tahapan, Kegiatan, Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pilkada; Peraturan MK No. 4 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait.

Selasa, 07 Februari 2017

Perusahaan Menahan Ijazah, Bolehkah?

Bagai lagu Arjuna milik dewa; kerja kini amat (sangat) diburu. Dicari kesana-kemari. Sang pencari kerja akan mati-matian mencari. Bedanya kalau Arjuna mencari cinta, pencari kerja tentu mencari kerja. Jumlah pencari kerja yang tiap tahun makin banyak tidak bisa berimbang dengan ketersediaan lowongan pekerjaan. Melihat melonjaknya angka pencari kerja membuat banyak perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan pun semakin merasa diatas angin dalam membuat peraturan perihal kontrak kerja dengan para pekerjanya. Salah satu kebijakan perusahaan yang sekarang marak terjadi adalah dengan menahan ijazah asli para pekerjanya. Bolehkah demikian? Mari kita bahas. Aturan Penahan Ijazah, ada dimana?Dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Ketenagakerjaan juga dalam KUHPerdata, perihal penahanan ijazah tidak diatur secara eksplisit. Namun, dalam hukum perdata terdapat sebuah adagium pacta sunt servanda, bahwa kesepakatan adalah uu bagi para pihak. Untuk menganalisis penahanan ijazah pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara kaidah penahanan benda (benda sebagai jaminan). Hak untuk menahan sesuatu milik orang lain dalam hukum perdata dikenal dengan istilah hak retensi. Hak retensi (retentie) adalah hak yang diberikan kepada kreditur tertentu, untuk menahan benda debitur, sampai tagihan yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 575 ayat (2), Pasal 1576, Pasal 1364 ayat (2), Pasal 1616, Pasal 1729, dan Pasal 1812 KUHPer. Lebih lanjut, hak retensi/menahan tersebut bertujuan untuk memberikan tekanan kepada debitur agar segera melunasi utangnya.Kreditur dengan hak retensi sangat diuntungkan dalam penagihan piutangnya. Hak retensi berbeda dengan hak-hak jaminan kebendaan yang lain, karena ia tidak diperikatkan secara khusus, tidak diperjanjikan, dan bukan diberikan oleh undang-undang dengan maksud untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari “hasil penjualan” benda-benda debitur, tetapi sifat jaminan di sana muncul demi hukum, karena ciri/sifat daripada lembaga hukum itu sendiri. Tentu saja perusahaan tidak bisa memelintir hak retensi ini dalam hal penahanan ijazah (calon) karyawan. Mengapa? Karena ijazah bukanlah benda yang berhubungan dengan suatu utang yang dimiliki oleh calon karyawan terhadap perusahaannya. Dengan demikian, perjanjian penahan ijazah tersebut adalah menyalahi kaidah hak retensi. Selain itu, berdasarkan Buku III KUHPerdata dalam suatu perjanjian dikenal asas kepatutan dan kepantasan (1338 KUHPerdata).Perbuatan menahan ijazah ini adalah tidak patut karena dengan ditahannya ijazah seorang mengakibatkan si karyawan tersebut tidak bisa : 1. Berbuat bebas atas hak miliknya (dokumen ijazah) yang ditahan tersebut; 2. Menikmati manfaat dari ijazah yang ditahan tersebut yaitu berupa kesempatan bekerja di tempat lain. Selain tidak sesuai dengan hukum perdata, penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan juga termasuk kategori melanggar Hak Asasi Manusia perihal mencari penghidupan yang layak (silahkan buka UUD 1945 dalam Pasal 28 ). Hal lain yg juga patut diperhatikan adalah perbuatan penahanan ijazah ini menimbulkan kecurigaan: ada (hal negatif) apa yg mendorong perusahaan menahan ijazah karyawannya? Mengapa perusahaan perlu membatasi atau bahkan merampas hak karyawan untuk melamar di tempat lain? Jadi, apakah perusahaan anda demikian?

Tata Cara Pengambilalihan Saham (Akuisisi) Persereoan Terbatas di Indonesia


Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang Perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.  Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Akuisisi saham secara harfiah adalah membeli atau mendapatkan sesuatu/objek untuk ditambahkan pada sesuatu/objek yang telah dimiliki sebelumnya.
1.    Syarat-Syarat Pengambilan Saham(Akuisisi) Perseroan
Mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 126, terdapat beberapa persyaratan yang dapat diacu bagi proses pengambilan saham, yaitu:
  • Pengambilalihan saham wajib memperhatikan ketentuan Anggaran Dasar Perseroan yang diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain;
  • Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan perusahaan, baik kepentingan perusahaan yang mengakuisisi maupun kepentingan perusahaan;
  • Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan pemegang saham minoritas;
  • Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan karyawan perusahaan;
  • Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan kreditur dan mitra usaha lainnya dari Perseroan;
  • Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat.
  • Pengambilalihan saham wajib memperhatikan ketentuan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain.
Disamping persyaratan di atas, suatu pengambilalihan saham (Akuisisi) juga harus tunduk pada persyaratan yang diatur dalam pada Pasal 4, Pasal  dan Pasal 6 PP No.27/1998 mengenai Syarat-syarat pengambilalihan dengan mengacu pada pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan Perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan yang bersangkutan;
  2. Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha;
  3. Pengambilalihan harus memperhatikan kepentingan kreditur;
  4. Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS.
Meskipun begitu pada dasarnya semua persyaratan yang diatur dalam PP No.27/1998 ini sudah mencakup persyaratan yang diatur dalam UU No.40 /2007.
2.    Dokumen Persyaratan Dalam Proses Pengambilan Saham (Akuisisi)
Berdasarkan persyaratan di atas dapat ditelususri mengenai dokumen-dokumen yang diperlukan untuk melakukan proses Pengambilan Saham atau Akuisisi, yaitu meliputi:
a.    Pernyataan Maksud Untuk Mengambil Alih Perseoran
Dalam hal Pengambilalihan dilakukan melalui Direksi, pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambilalihan kepada Direksi Perseroan yang akan diambil alih.  Akan tetapi Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, ketentuan ini tidak berlaku.
b.    Rancangan Pengambilalihan Perseroan
Direksi Perseroan yang akan diambil alih dan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dengan persetujuan Dewan Komisaris masing-masing menyusun rancangan Pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya:
  1. nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;
  2. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan diambil alih;
  3. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;
  4. tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham;
  5. jumlah saham yang akan diambil alih;
  6. kesiapan pendanaan;
  7. neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
  8. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Pengambilalihan;
  9. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih;
  10. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi Perseroan;
  11. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila ada.
Meskipun begitu Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, ketentuan ini tidak berlaku.
c.    Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS) atas Rencana Pengambialihan (Akuisisi)
Berdasarkan Pasal 125 ayat (1) UU No.40/2007 dijelaskan bahwa Dalam hal Pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan, Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus terlebih dahulu berdasarkan keputusan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS.
Adapun Kuorum yang dimaksud disini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 89 ayat (1) UU No.40/2007 adalah 3/4(tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
d.    Pengumuman Ringkasan Rencana Pengambilan Alihan Ke Surat Kabar
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar  dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
e.    Surat Tercatat Rancangan Pengambilalihan Kepada Seluruh Kreditor
Paling Lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Direksi wajib menyemapaikan dengan surat tercatat Rancangan Pengambilalihan kepada seluruh Kreditor Perseroan.
f.    Pengumuman secara tertulis kepada karyawan Perseroan
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
g.    Akta Notaris Pengambilalihan Perseroan
Rancangan Pengambilalihan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia.  Akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham jugawajib dinyatakan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia.
h.    Surat Pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM
Setelah rancangan Pengambilaihan (Akuisisi) dituangkan menjadi Akta Notaris maka selanjutnya adalah mendapatkan Surat Penyampaian Pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM. Dalam penyampaian pemberitahuan ini Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar.  Sedangkan Dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham, salinan akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham.
e.    Pendaftaran Wajib Daftar Perseroan
Setiap perubahan yang diakibatkan oleh Pengambilalihan (akuisis) baik yang berhubungan dengan data-data Pemegang Saham maupun, data yang berhubungan dengan data-data Perseroan wajib dilaporkan pada kantor tempat pendaftaran perusahaan oleh pemilik atau pengurus perusahaan.
Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UU No. 40/2007”);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Penggabungan , Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (“PP No. 27/1998”)
  3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan (“UU No.3 / 1982”)

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...