Bagai lagu Arjuna milik dewa; kerja kini amat (sangat) diburu. Dicari kesana-kemari. Sang pencari kerja akan mati-matian mencari. Bedanya kalau Arjuna mencari cinta, pencari kerja tentu mencari kerja. Jumlah pencari kerja yang tiap tahun makin banyak tidak bisa berimbang dengan ketersediaan lowongan pekerjaan. Melihat melonjaknya angka pencari kerja membuat banyak perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan pun semakin merasa diatas angin dalam membuat peraturan perihal kontrak kerja dengan para pekerjanya. Salah satu kebijakan perusahaan yang sekarang marak terjadi adalah dengan menahan ijazah asli para pekerjanya. Bolehkah demikian? Mari kita bahas. Aturan Penahan Ijazah, ada dimana?Dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Ketenagakerjaan juga dalam KUHPerdata, perihal penahanan ijazah tidak diatur secara eksplisit. Namun, dalam hukum perdata terdapat sebuah adagium pacta sunt servanda, bahwa kesepakatan adalah uu bagi para pihak. Untuk menganalisis penahanan ijazah pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara kaidah penahanan benda (benda sebagai jaminan). Hak untuk menahan sesuatu milik orang lain dalam hukum perdata dikenal dengan istilah hak retensi. Hak retensi (retentie) adalah hak yang diberikan kepada kreditur tertentu, untuk menahan benda debitur, sampai tagihan yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 575 ayat (2), Pasal 1576, Pasal 1364 ayat (2), Pasal 1616, Pasal 1729, dan Pasal 1812 KUHPer. Lebih lanjut, hak retensi/menahan tersebut bertujuan untuk memberikan tekanan kepada debitur agar segera melunasi utangnya.Kreditur dengan hak retensi sangat diuntungkan dalam penagihan piutangnya. Hak retensi berbeda dengan hak-hak jaminan kebendaan yang lain, karena ia tidak diperikatkan secara khusus, tidak diperjanjikan, dan bukan diberikan oleh undang-undang dengan maksud untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari “hasil penjualan” benda-benda debitur, tetapi sifat jaminan di sana muncul demi hukum, karena ciri/sifat daripada lembaga hukum itu sendiri. Tentu saja perusahaan tidak bisa memelintir hak retensi ini dalam hal penahanan ijazah (calon) karyawan. Mengapa? Karena ijazah bukanlah benda yang berhubungan dengan suatu utang yang dimiliki oleh calon karyawan terhadap perusahaannya. Dengan demikian, perjanjian penahan ijazah tersebut adalah menyalahi kaidah hak retensi. Selain itu, berdasarkan Buku III KUHPerdata dalam suatu perjanjian dikenal asas kepatutan dan kepantasan (1338 KUHPerdata).Perbuatan menahan ijazah ini adalah tidak patut karena dengan ditahannya ijazah seorang mengakibatkan si karyawan tersebut tidak bisa : 1. Berbuat bebas atas hak miliknya (dokumen ijazah) yang ditahan tersebut; 2. Menikmati manfaat dari ijazah yang ditahan tersebut yaitu berupa kesempatan bekerja di tempat lain. Selain tidak sesuai dengan hukum perdata, penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan juga termasuk kategori melanggar Hak Asasi Manusia perihal mencari penghidupan yang layak (silahkan buka UUD 1945 dalam Pasal 28 ). Hal lain yg juga patut diperhatikan adalah perbuatan penahanan ijazah ini menimbulkan kecurigaan: ada (hal negatif) apa yg mendorong perusahaan menahan ijazah karyawannya? Mengapa perusahaan perlu membatasi atau bahkan merampas hak karyawan untuk melamar di tempat lain? Jadi, apakah perusahaan anda demikian?
Selasa, 07 Februari 2017
Tata Cara Pengambilalihan Saham (Akuisisi) Persereoan Terbatas di Indonesia
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang Perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Akuisisi saham secara harfiah adalah membeli atau mendapatkan sesuatu/objek untuk ditambahkan pada sesuatu/objek yang telah dimiliki sebelumnya.
1. Syarat-Syarat Pengambilan Saham(Akuisisi) Perseroan
Mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 126, terdapat beberapa persyaratan yang dapat diacu bagi proses pengambilan saham, yaitu:
- Pengambilalihan saham wajib memperhatikan ketentuan Anggaran Dasar Perseroan yang diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain;
- Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan perusahaan, baik kepentingan perusahaan yang mengakuisisi maupun kepentingan perusahaan;
- Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan pemegang saham minoritas;
- Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan karyawan perusahaan;
- Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan kreditur dan mitra usaha lainnya dari Perseroan;
- Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat.
- Pengambilalihan saham wajib memperhatikan ketentuan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain.
Disamping persyaratan di atas, suatu pengambilalihan saham (Akuisisi) juga harus tunduk pada persyaratan yang diatur dalam pada Pasal 4, Pasal dan Pasal 6 PP No.27/1998 mengenai Syarat-syarat pengambilalihan dengan mengacu pada pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
- Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan Perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan yang bersangkutan;
- Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha;
- Pengambilalihan harus memperhatikan kepentingan kreditur;
- Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS.
Meskipun begitu pada dasarnya semua persyaratan yang diatur dalam PP No.27/1998 ini sudah mencakup persyaratan yang diatur dalam UU No.40 /2007.
2. Dokumen Persyaratan Dalam Proses Pengambilan Saham (Akuisisi)
Berdasarkan persyaratan di atas dapat ditelususri mengenai dokumen-dokumen yang diperlukan untuk melakukan proses Pengambilan Saham atau Akuisisi, yaitu meliputi:
a. Pernyataan Maksud Untuk Mengambil Alih Perseoran
Dalam hal Pengambilalihan dilakukan melalui Direksi, pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambilalihan kepada Direksi Perseroan yang akan diambil alih. Akan tetapi Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, ketentuan ini tidak berlaku.
b. Rancangan Pengambilalihan Perseroan
Direksi Perseroan yang akan diambil alih dan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dengan persetujuan Dewan Komisaris masing-masing menyusun rancangan Pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya:
- nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;
- alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan diambil alih;
- Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih;
- tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham;
- jumlah saham yang akan diambil alih;
- kesiapan pendanaan;
- neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
- cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Pengambilalihan;
- cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih;
- perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi Perseroan;
- rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila ada.
Meskipun begitu Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, ketentuan ini tidak berlaku.
c. Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS) atas Rencana Pengambialihan (Akuisisi)
Berdasarkan Pasal 125 ayat (1) UU No.40/2007 dijelaskan bahwa Dalam hal Pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan, Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus terlebih dahulu berdasarkan keputusan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS.
Adapun Kuorum yang dimaksud disini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 89 ayat (1) UU No.40/2007 adalah 3/4(tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
d. Pengumuman Ringkasan Rencana Pengambilan Alihan Ke Surat Kabar
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
e. Surat Tercatat Rancangan Pengambilalihan Kepada Seluruh Kreditor
Paling Lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Direksi wajib menyemapaikan dengan surat tercatat Rancangan Pengambilalihan kepada seluruh Kreditor Perseroan.
f. Pengumuman secara tertulis kepada karyawan Perseroan
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
g. Akta Notaris Pengambilalihan Perseroan
Rancangan Pengambilalihan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia. Akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham jugawajib dinyatakan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia.
h. Surat Pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM
Setelah rancangan Pengambilaihan (Akuisisi) dituangkan menjadi Akta Notaris maka selanjutnya adalah mendapatkan Surat Penyampaian Pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM. Dalam penyampaian pemberitahuan ini Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar. Sedangkan Dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham, salinan akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham.
e. Pendaftaran Wajib Daftar Perseroan
Setiap perubahan yang diakibatkan oleh Pengambilalihan (akuisis) baik yang berhubungan dengan data-data Pemegang Saham maupun, data yang berhubungan dengan data-data Perseroan wajib dilaporkan pada kantor tempat pendaftaran perusahaan oleh pemilik atau pengurus perusahaan.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UU No. 40/2007”);
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Penggabungan , Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (“PP No. 27/1998”)
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan (“UU No.3 / 1982”)
Tata Cara Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara
Hak Menguasai dari Negara
Sebelumnya kami ingin meluruskan bahwa baik dalam Undang-Undang Dasar 1945maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) tidak ada istilah tanah milik Negara, yang ada adalah tanah yang dikuasai Negara.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Selain itu, hak menguasai dari Negara ini juga terdapat Pasal 2 UUPA sebagai berikut:
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Tentang Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial.[1]
Yang dapat mempunyai hak milik adalah:[2]
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah.
Tata Cara Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara
Mengenai tata cara pemberian hak milik atas tanah Negara, secara umum diatur dalamPeraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan(“Permen Argaria 9/1999”).
Pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri Agraria dan Pertanahan/Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menteri”).[3] Pemberian dan pembatalan hak ini, Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk.[4] Lebih lanjut mengenai pelimpahan kewenangan ini dapat dilihat dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.
Permohonan hak milik atas tanah negara diajukan secara tertulis.[5] Permohonan Hak Milik diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.[6]
Permohonan hak milik atas tanah negara memuat:[7]
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya;
b. apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang, tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);
c. jenis tanah (pertanian/non pertanian);
d. rencana penggunaan tanah;
e. status tanahnya (tanah hak atau tanah Negara);
3. Lain-lain:
a. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. keterangan lain yang dianggap perlu.
Permohonan Hak Milik di atas dilampiri dengan:[8]
1. Mengenai pemohon:
a. jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia;
b. jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukkannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Mengenai tanahnya:
a. data yuridis: sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah; akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b. data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada;
c. surat lain yang dianggap perlu.
3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon.
Setelah semua berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik permohonan hak milik serta memeriksa kelayakan permohonan tersebut untuk dapat atau tidaknya diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[9]
Apabila dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk melakukan pengukuran.[10]
Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:[11]
a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering rapport);
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara; atau
c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah.
Dalam hal keputusan pemberian hak milik kewenangannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan keputusan pemberian hak milik atas tanah negara yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.[12]
Keputusan pemberian hak milik atau keputusan penolakan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.[13]
Perlu diketahui bahwa penerima hak atas tanah mempunyai kewajiban antara lain:[14]
1. membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan kepada Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. memelihara tanda-tanda batas;
3. menggunakan tanah secara optimal;
4. mencegah kerusakan-kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah;
5. menggunakan tanah sesuai kondisi lingkungan hidup;
6. kewajiban yang tercantum dalam sertifikatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI
Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...
-
Permohonan izin diajukan kepada Menteri Sosial RI up. Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum penyel...
-
Barang bergerak dan barang tidak bergerak merupakan klasifikasi barang menurut jaminannya. Barang bergerak dan tidak bergerak juga d...
-
Untuk memperluas bidang usaha jasa rekondisi dan industri pemakai langsung mesin dan peralatan mesin di dalam negeri, dan penghematan...