Kamis, 05 April 2018

Aspek Hukum Adaptasi Buku dalam Film


Nyaris tidak ada orang yang belum pernah mendengar soal film Harry Potter, salah satu film dengan pendapatan terbesar sepanjang masa. Semua orang juga tahu bahwa film tersebut diadaptasi dari sebuah seri buku yang tidak kalah terkenalnya, di mana film Harry Potter akhirnya menjadi alternatif bagi mereka yang tidak suka membaca. Belakangan laju adaptasi buku menjadi film meningkat di kalangan produser Hollywood. Sekilas terkesan tidak kreatif maupun orisinil, namun dari sudut pandang bisnis, adaptasi buku menjadi film relatif lebih aman dalam berinvestasi, sebab sebuah buku yang terkenal sudah memiliki target dan jumlah pasar yang jelas, sehingga produser tidak perlu gambling terlalu banyak.
Buku merupakan salah satu karya yang dilindungi oleh hukum dalam bentuk Hak Cipta, dan begitu juga dengan film. Seorang penulis memiliki Hak Cipta atas bukunya, yang artinya ia memiliki hak eksklusif atas karyanya, termasuk untuk mengambil keuntungan ekonomi atas penggunaan karya tersebut oleh dirinya sendiri atau pihak lain. Pasal 9 Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menjamin bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan beberapa hal, salah satunya adalah pengadaptasian atau pentransformasian karyanya.
UU Hak Cipta mengelaborasikan adaptasi sebagai “…mengalihwujudkan suatu Ciptaan menjadi bentuk lain,” sementara yang dimaksud dengan transformasi adalah “…mengubah format Ciptaan menjadi format bentuk lain,” (Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf n UU Hak Cipta). Misalnya, lagu “Mau dibawa ke Mana?” oleh Armada yang ditransformasikan secara musikal oleh Marcell, secara esensi masih merupakan lagu yang sama, tapi dengan perlakuan yang berbeda. Sedangkan dalam adaptasi, bentuk karya menjadi sama sekali berbeda, seperti buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2005) yang dijadikan film oleh Riri Riza (2008). Tentunya perubahan-perubahan terhadap karya seperti ini tidak dapat dilakukan oleh orang lain tanpa izin dari sang pemegang Hak Cipta (Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta).
Selain hak ekonomi, seorang pemegang Hak Cipta juga memiliki hak moral. Salah satu dari perwujudan hak moral adalah pemberian credit sebagai pencipta dari karya yang bersangkutan (Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta). Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Hak Cipta, hak moral tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup. Dalam hal sebuah buku akan diangkat ke dalam sebuah film, kenyataan bahwa orang lain pertama kali menulis materi film tersebut (dalam bentuk buku) tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Produser film harus mendapatkan izin untuk mengalihkan Hak Cipta buku secara terbatas dari penulisnya. Akan tetapi, yang dapat dialihkan hanya hak ekonominya saja, bukan hak moral sang penulis.
Pengalihan hak ekonomi dari penulis buku kepada produser film dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan mengadakan perjanjian jual putus (sold flat), pengalihan tanpa batas waktu, atau pemberian lisensi yang didasarkan pada suatu perjanjian. Jual putus adalah “…perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas Ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu,” (Penjelasan Pasal 18 UU Hak Cipta). Sementara UU Hak Cipta memberikan definisi lisensi dalam Pasal 1 angka 20 sebagai “…izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.”
Perlu dicatat bahwa Pasal 18 UU Hak Cipta memberikan suatu jaminan kepada pemegang Hak Cipta yang melakukan pengalihan Hak Cipta karya dengan cara jual putus atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Cipta atas karyanya tersebut akan beralih kembali kepada Pencipta ketika perjanjian mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pemegang Hak Cipta terkait eksploitasi ekonomis karyanya secara terus menerus oleh pihak lain. Untuk beberapa karya, umur 25 tahun mungkin tidak seberapa, karena kemungkinan besar nilai ekonomis karya itu sudah tidak signifikan dalam jangka waktu tersebut. Namun bagi karya-karya klasik, seperti produk Disney misalnya, kewajiban mengembalikan Hak Cipta dalam 25 tahun berpotensi memperpanjang birokrasi dan administrasi dalam mengusahakan karya terkait tetap dapat diputar secara ekonomis. Sisi positifnya, setidaknya hal ini memberikan pemegang Hak Cipta pertama kesempatan untuk bernegosiasi kembali setiap 25 tahun.
Hal serupa diterapkan dalam lisensi, di mana jangka waktu lisensi tidak boleh melebihi masa berlaku Hak Cipta dan Hak Terkait (Pasal 80 ayat (2) UU Hak Cipta). Hanya saja, UU Hak Cipta memberikan kewajiban kepada penerima lisensi untuk memberikan royalti, kecuali diperjanjikan lain, yang besarannya dibebaskan kepada kesepakatan antara pemegang Hak Cipta dan penerima Lisensi (Pasal 80 ayat (3)-(4) UU Hak Cipta).
Umumnya film-film yang diadaptasi dari buku akan menyatakan perihal adaptasi tersebut dalam credit title mereka. Frase yang sering digunakan adalah “based on” dan “inspired by”. Sekilas kedua frase tersebut tampak serupa, namun terdapat suatu implikasi legal terhadap makna dari “based on” dan “inspired by.”
Pada dasarnya, kedua terminologi tersebut merupakan suatu cara untuk membawa para penonton ke dalam suatu ekspektasi tertentu terhadap film. Frasa “based on” dan “inspired by” dapat diartikan secara cukup harfiah dalam hal ini. Jika sebuah film menggunakan tagline “based on” dengan judul yang sama dengan sebuah buku, maka film tersebut mendasarkan cerita pada buku tersebut, seperti film Pintu Terlarang (Joko Anwar, 2009) yang didasari dari buku berjudul sama karya Sekar Ayu Asmara (2005). Dapat diasumsikan jalan ceritanya merupakan penggambaran dari alur cerita, karakter, tema, dan lain-lain dari suatu buku. Dalam hal ini, maka pengusaha film haruslah mendapatkan Hak Cipta atas buku tersebut agar tidak terjadi pelanggaran Hak Cipta.
Selanjutnya, apabila sebuah film menggunakan tagline “inspired by”, ada banyak kemungkinan yang melatarbelakangi dibuatnya film tersebut. Frasa “inspired by” dapat diartikan bahwa seseorang menciptakan film bersangkutan karena terinspirasi dari suatu karya lain, seperti Mata Tertutup oleh Garin Nugroho (2011) yang terinspirasi dari fenomena NII di Indonesia. Jika kamu membaca novel Harry Potter dan kamu mendapat ide untuk mendesain beberapa pakaian bergaya penyihir, namun kamu tidak membawa sedikitpun aspek spesifik dari novel yang kamu baca selain tema besarnya, di situ sudah bisa dikatakan bahwa kamu terinspirasi dari novel Harry Potter. Atau contoh lainnya adalah banyak film bertema horor yang mengangkat urban legend dari berbagai daerah, namun cerita yang mereka angkat merupakan karangan semata dan kebenaran di balik kejadian yang digambarkan dalam film sulit dibuktikan kebenarannya. Pembuatan film yang mengangkat tagline “inspired by” dengan cara demikian bisa dikatakan tidak wajib mendapatkan izin dari Pencipta atau pemegang Hak Cipta jika film tersebut terinspirasi dari suatu karya lainnya, namun bukan berarti hal ini merupakan sesuatu yang akan menutup kemungkinan gugatan hukum. Jadi, dalam membuat film atau karya yang terinspirasi dari karya lainnya diperlukan kehati-hatian ekstra.

Doubt oleh Brightly

Perlu diperhatikan juga bahwa sebuah Hak Cipta memiliki jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktu tersebut berakhir, maka sebuah karya akan memasuki domain publik, di mana masyarakat dapat menggunakan karya tersebut tanpa memerlukan izin dari Penciptanya. Contohnya adalah musik-musik klasik karya Bach, Mozart, ataupun Bethoven. Semua orang dapat melakukan adaptasi, transformasi, maupun aransemen terhadap karya mereka tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Kemudahan ini sering pula dimanfaatkan oleh orang lain dalam berkarya, seperti Brightly, band indie asal Australia, yang mengambil potongan-potongan film tua untuk membentuk sebuah video klip. Ada baiknya sebelum memanfaatkan karya orang lain secara komersil, ditelusuri dulu asal-usul dan umur hak ciptanya (chain of title), demi mendapatkan hasil maksimal dari penggunaan karya tersebut.

Pengertian dan Contoh Barang Bergerak dan Barang Tidak Bergerak



Barang bergerak dan barang tidak bergerak merupakan klasifikasi barang menurut jaminannya. Barang bergerak dan tidak bergerak juga dikenal dalam istilah hukum. Berikut ini penjelasan mengenai pengertian dan contoh barang bergerak dan tidak bergerak.


Pengertian dan contoh barang bergerak


Pengertian barang bergerak secara umum adalah barang yang digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman atau kredit jangka pendek. Barang tersebut disebut bergerak karena dapat dipindah-pindahkan dengan mudah.

Segala jenis barang yang dapat digerakkan dan dipindahkan dengan mudah disebut sebagai barang bergerak. Barang ini dapat dengan mudah kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada umumnya, masyarakat Indonesia mampu untuk memiliki barang bergerak. Contoh barang bergerak antara lain adalah televisi, perhiasan emas, kalung, cincin, motor, kulkas, dan radio.


Pengertian dan contoh barang tidak bergerak  

Pengertian barang tidak bergerak secara umum adalah barang yang digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman atau kredit jangka panjang. Sesuai dengan namanya, barang tersebut disebut tidak bergerak karena umumnya benda- benda tersebut tidak dapat dipindahkan dengan mudah. Dan, secara umum barang tidak bergerak bernilai lebih mahal dibanding barang bergerak sehingga bisa digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman jangka panjang yang jumlahnya besar.

Contoh barang tidak bergerak antara lain adalah tanah dan rumah. Apakah ada contoh barang tidak bergerak yang bisa bergerak ? jawabannya adalah ada. Kapal dengan ukuran tertentu dianggap sebagai barang tidak bergerak menurut hukum perdata Indonesia.

Barang tidak bergerak merupakan asset jangka panjang yang harganya cenderung meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Contoh paling sederhana adalah harga tanah dan property yang ada di kota anda. saya yakin bahwa harga barang-barang tersebut semakin lama semaki n meningkat. 

Pengertian dan Contoh Barang Bergerak dan Barang Tidak Bergerak


Demikianlah penjelasan mengenai pengertian dan contoh barang bergerak dan barang tidak bergerak. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...