Nyaris
tidak ada orang yang belum pernah mendengar soal film Harry Potter, salah satu
film dengan pendapatan terbesar sepanjang masa. Semua orang juga tahu bahwa
film tersebut diadaptasi dari sebuah seri buku yang tidak kalah terkenalnya, di
mana film Harry Potter akhirnya menjadi alternatif bagi mereka yang tidak suka
membaca. Belakangan laju adaptasi buku menjadi film meningkat di kalangan
produser Hollywood. Sekilas terkesan tidak kreatif maupun orisinil, namun dari
sudut pandang bisnis, adaptasi buku menjadi film relatif lebih aman dalam
berinvestasi, sebab sebuah buku yang terkenal sudah memiliki target dan jumlah
pasar yang jelas, sehingga produser tidak perlu gambling terlalu
banyak.
Buku
merupakan salah satu karya yang dilindungi oleh hukum dalam bentuk Hak Cipta,
dan begitu juga dengan film. Seorang penulis memiliki Hak Cipta atas bukunya,
yang artinya ia memiliki hak eksklusif atas karyanya, termasuk untuk mengambil
keuntungan ekonomi atas penggunaan karya tersebut oleh dirinya sendiri atau
pihak lain. Pasal 9 Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak
Cipta) menjamin bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi
untuk melakukan beberapa hal, salah satunya adalah pengadaptasian atau
pentransformasian karyanya.
UU Hak
Cipta mengelaborasikan adaptasi sebagai “…mengalihwujudkan suatu
Ciptaan menjadi bentuk lain,” sementara yang dimaksud dengan
transformasi adalah “…mengubah format Ciptaan menjadi format bentuk
lain,” (Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf n UU Hak Cipta). Misalnya,
lagu “Mau dibawa ke Mana?” oleh Armada yang ditransformasikan secara musikal
oleh Marcell, secara esensi masih merupakan lagu yang sama, tapi dengan
perlakuan yang berbeda. Sedangkan dalam adaptasi, bentuk karya menjadi sama
sekali berbeda, seperti buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2005) yang
dijadikan film oleh Riri Riza (2008). Tentunya perubahan-perubahan terhadap
karya seperti ini tidak dapat dilakukan oleh orang lain tanpa izin dari sang
pemegang Hak Cipta (Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta).
Selain
hak ekonomi, seorang pemegang Hak Cipta juga memiliki hak moral. Salah satu
dari perwujudan hak moral adalah pemberian credit sebagai
pencipta dari karya yang bersangkutan (Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta).
Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Hak Cipta, hak moral tidak dapat dialihkan
selama pencipta masih hidup. Dalam hal sebuah buku akan diangkat ke dalam
sebuah film, kenyataan bahwa orang lain pertama kali menulis materi film
tersebut (dalam bentuk buku) tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Produser
film harus mendapatkan izin untuk mengalihkan Hak Cipta buku secara terbatas
dari penulisnya. Akan tetapi, yang dapat dialihkan hanya hak ekonominya saja,
bukan hak moral sang penulis.
Pengalihan
hak ekonomi dari penulis buku kepada produser film dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yakni dengan mengadakan perjanjian jual putus (sold
flat), pengalihan tanpa batas waktu, atau pemberian lisensi yang didasarkan
pada suatu perjanjian. Jual putus adalah “…perjanjian yang mengharuskan
Pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli
sehingga hak ekonomi atas Ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli
tanpa batas waktu,” (Penjelasan Pasal 18 UU Hak Cipta). Sementara UU
Hak Cipta memberikan definisi lisensi dalam Pasal 1 angka 20 sebagai “…izin
tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada
pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak
Terkait dengan syarat tertentu.”
Perlu
dicatat bahwa Pasal 18 UU Hak Cipta memberikan suatu jaminan kepada pemegang
Hak Cipta yang melakukan pengalihan Hak Cipta karya dengan cara jual putus atau
pengalihan tanpa batas waktu, Hak Cipta atas karyanya tersebut akan beralih
kembali kepada Pencipta ketika perjanjian mencapai jangka waktu 25 (dua puluh
lima) tahun. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pemegang Hak Cipta terkait
eksploitasi ekonomis karyanya secara terus menerus oleh pihak lain. Untuk
beberapa karya, umur 25 tahun mungkin tidak seberapa, karena kemungkinan besar
nilai ekonomis karya itu sudah tidak signifikan dalam jangka waktu tersebut.
Namun bagi karya-karya klasik, seperti produk Disney misalnya, kewajiban
mengembalikan Hak Cipta dalam 25 tahun berpotensi memperpanjang birokrasi dan
administrasi dalam mengusahakan karya terkait tetap dapat diputar secara
ekonomis. Sisi positifnya, setidaknya hal ini memberikan pemegang Hak Cipta
pertama kesempatan untuk bernegosiasi kembali setiap 25 tahun.
Hal
serupa diterapkan dalam lisensi, di mana jangka waktu lisensi tidak boleh
melebihi masa berlaku Hak Cipta dan Hak Terkait (Pasal 80 ayat (2) UU Hak
Cipta). Hanya saja, UU Hak Cipta memberikan kewajiban kepada penerima lisensi
untuk memberikan royalti, kecuali diperjanjikan lain, yang besarannya
dibebaskan kepada kesepakatan antara pemegang Hak Cipta dan penerima Lisensi
(Pasal 80 ayat (3)-(4) UU Hak Cipta).
Umumnya
film-film yang diadaptasi dari buku akan menyatakan perihal adaptasi tersebut
dalam credit title mereka. Frase yang sering digunakan
adalah “based on” dan “inspired by”. Sekilas kedua
frase tersebut tampak serupa, namun terdapat suatu implikasi
legal terhadap makna dari “based on” dan “inspired by.”
Pada
dasarnya, kedua terminologi tersebut merupakan suatu cara untuk membawa para
penonton ke dalam suatu ekspektasi tertentu terhadap film. Frasa “based
on” dan “inspired by” dapat diartikan secara cukup
harfiah dalam hal ini. Jika sebuah film menggunakan tagline “based on” dengan
judul yang sama dengan sebuah buku, maka film tersebut mendasarkan cerita pada
buku tersebut, seperti film Pintu Terlarang (Joko Anwar, 2009) yang didasari
dari buku berjudul sama karya Sekar Ayu Asmara (2005). Dapat diasumsikan jalan
ceritanya merupakan penggambaran dari alur cerita, karakter, tema, dan
lain-lain dari suatu buku. Dalam hal ini, maka pengusaha film haruslah
mendapatkan Hak Cipta atas buku tersebut agar tidak terjadi pelanggaran Hak
Cipta.
Selanjutnya,
apabila sebuah film menggunakan tagline “inspired by”, ada
banyak kemungkinan yang melatarbelakangi dibuatnya film tersebut. Frasa “inspired
by” dapat diartikan bahwa seseorang menciptakan film bersangkutan
karena terinspirasi dari suatu karya lain, seperti Mata Tertutup oleh Garin Nugroho
(2011) yang terinspirasi dari fenomena NII di Indonesia. Jika kamu membaca
novel Harry Potter dan kamu mendapat ide untuk mendesain beberapa pakaian
bergaya penyihir, namun kamu tidak membawa sedikitpun aspek spesifik dari novel
yang kamu baca selain tema besarnya, di situ sudah bisa dikatakan bahwa kamu
terinspirasi dari novel Harry Potter. Atau contoh lainnya adalah banyak film
bertema horor yang mengangkat urban legend dari berbagai daerah, namun cerita
yang mereka angkat merupakan karangan semata dan kebenaran di balik kejadian
yang digambarkan dalam film sulit dibuktikan kebenarannya. Pembuatan film yang
mengangkat tagline “inspired by” dengan cara demikian bisa
dikatakan tidak wajib mendapatkan izin dari Pencipta atau pemegang Hak Cipta
jika film tersebut terinspirasi dari suatu karya lainnya, namun bukan berarti
hal ini merupakan sesuatu yang akan menutup kemungkinan gugatan hukum. Jadi,
dalam membuat film atau karya yang terinspirasi dari karya lainnya diperlukan
kehati-hatian ekstra.
Doubt oleh Brightly
Perlu
diperhatikan juga bahwa sebuah Hak Cipta memiliki jangka waktu tertentu.
Apabila jangka waktu tersebut berakhir, maka sebuah karya akan memasuki domain
publik, di mana masyarakat dapat menggunakan karya tersebut tanpa memerlukan
izin dari Penciptanya. Contohnya adalah musik-musik klasik karya Bach, Mozart,
ataupun Bethoven. Semua orang dapat melakukan adaptasi, transformasi, maupun
aransemen terhadap karya mereka tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Kemudahan ini sering pula dimanfaatkan oleh orang lain dalam berkarya, seperti
Brightly, band indie asal Australia, yang mengambil potongan-potongan film tua
untuk membentuk sebuah video klip. Ada baiknya sebelum memanfaatkan karya orang
lain secara komersil, ditelusuri dulu asal-usul dan umur hak ciptanya (chain
of title), demi mendapatkan hasil maksimal dari penggunaan karya tersebut.