Rabu, 23 Oktober 2019

Hak Cipta Dalam Industri Musik

Dalam industri musik, dari sudut perlindungan hak cipta dibedakan antara komposisi musik/lagu (music composition) dan rekaman suara (sound recordings).
 
Komposisi musik terdiri dari musik, termasuk di dalamnya syair/lirik. Komposisi musik dapat berupa sebuah salinan notasi atau sebuah rekaman awal (phonorecord) pada kaset rekaman atau CD. Komposer/pencipta lagu dianggap sebagai pencipta dari sebuah komposisi musik.
 
Sementara itu, rekaman suara (sound recording) merupakan hasil penyempurnaan dari serangkaian suara-suara baik yang berasal dari musik, suara manusia dan atau suara-suara lainnya. Dianggap sebagai pencipta dari sound recording adalah pelaku/performer (dalam hal pertunjukan) dan atau produser rekaman (record producer) yang telah memproses suara-suara dan menyempurnakannya menjadi sebuah rekaman final.
 
Hak cipta pada sebuah rekaman suara tidak dapat disamakan dengan, atau tidak dapat menggantikan hak cipta pada komposisi musiknya yang menjadi dasar rekaman suara tersebut.
 
Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), perlindungan hak cipta atas komposisi musik disebut pada Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta, sementara perlindungan hak cipta atas rekaman suara disebut pada Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU Hak Cipta.
 
 
Cover Version dan Pelanggaran Hak Cipta
 
Cover version atau cover merupakan hasil reproduksi atau membawakan ulang sebuah lagu yang sebelumnya pernah direkam dan dibawakan penyanyi/artis lain. Tidak sedikit, sebuah lagu cover version bahkan menjadi lebih terkenal daripada lagu yang dibawakan oleh penyanyi aslinya. Karenanya, banyak artis baru mencoba peruntungannya dengan membawakan lagu cover version dengan tujuan agar lebih cepat sukses dan terkenal.
 
Untuk lagu-lagu cover yang diciptakan untuk tujuan komersial tadi, pencantuman nama penyanyi asli saja pada karya cover tentu tidak cukup untuk menghindari tuntutan hukum pemegang hak cipta. Agar tidak melanggar hak cipta orang lain, untuk mereproduksi, merekam, mendistribusikan dan atau mengumumkan sebuah lagu milik orang lain, terutama untuk tujuan komersial, seseorang perlu memperoleh izin (lisensi) dari pencipta/pemegang hak cipta sebagai berikut:
1.    Lisensi atas Hak Mekanikal (mechanical rights), yakni hak untuk menggandakan, mereproduksi (termasuk mengaransemen ulang) dan merekam sebuah komposisi musik/lagu pada CD, kaset rekaman dan media rekam lainnya; dan atau
2.    Hak Mengumumkan (performing rights), yakni hak untuk mengumumkan sebuah lagu/komposisi musik, termasuk menyanyikan, memainkan, baik berupa rekaman atau dipertunjukkan secara live (langsung), melalui radio dan televisi, termasuk melalui media lain seperti internet, konser live dan layanan-layanan musik terprogram.
 
Royalti atas mechanical right yang diterima dibayarkan oleh pihak yang mereproduksi atau merekam langsung kepada pemegang hak (biasanya perusahaan penerbit musik (publisher) yang mewakili komposer/pencipta lagu). Sementara pemungutan royalti atas pemberian performing rights pada umumnya dilakukan oleh sebuah lembaga (di Indonesia disebut Lembaga Manajemen Kolektif – “LMK”) berdasarkan kesepakatan antara pencipta dan lembaga tersebut.
 
WAMI (Wahana Musik Indonesia) dan YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) adalah dua dari beberapa LMK di Indonesia yang saat ini aktif menghimpun dan mendistribusikan royalti dari hasil pemanfaatan performing rights untuk diteruskan kepada komposer/pencipta lagu dan publisher.
 
 
The National Music Publishers’ Association vs. Fullscreen
 
Terkait dengan masalah lagu cover, sekitar pertengahan tahun lalu, sekelompok perusahaan penerbit musik di Amerika Serikat (salah satunya adalah Warner/Chappell Music milik Warner Music Group) yang diwakili oleh the National Music Publishers’ Association, menggugat Fullscreen, salah satu perusahaan pemasok video terbesar ke YouTube yang berkantor di Los Angeles, di pengadilan distrik di Manhattan, Amerika Serikat, dengan alasan bahwa banyak dari video-video pasokan Fullscreen, terutama versi cover dari lagu-lagu hits dari artis-artis mereka, melanggar hak cipta mereka. Hal ini sebagaimana disarikan dari The New York Times, www.nytimes.com, edisi 7 Agustus 2013.
 
Fullscreen mengklaim dirinya sebagai perusahaan media generasi baru yang membangun sebuah jaringan global melalui channel-channel di YouTube bekerja sama dengan ribuan kreator konten. Menurut Fullscreen, 15.000 channel yang mereka wakili total memiliki 200 juta pelanggan dan ditonton lebih dari 2,5 miliar orang per bulannya.
 
Di antara video-video Fullscreen yang diputar YouTube adalah versi cover dari lagu-lagu hits beberapa artis Penggugat, biasanya dibawakan oleh para amatir atau semi profesional, yang ditampilkan tanpa izin publisher dan pencipta lagu serta tanpa membayar royalti.

Sisik Melik Royalti Musik

Perbincangan seputar konser Guns N Roses di Jakarta belum sepenuhnya reda ketika personel Superman Is Dead (SID) JRX meminta Via Vallen untuk tidak lagi menyanyikan lagu “Sunset di Tanah Anarki.”

Ngefan tapi sama sekali gak pernah minta izin bawain lagu SID. Dan lagu ini pesannya besar. Vallen paham gak apa yang ia nyanyikan? Ini bukan tentang nominal. She’s degrading the meaning of the song,” cuit JRX di Twitter. Di Instagram, keluhan JRX menjadi-jadi. Pemain drum SID itu menyatakan jika pihaknya tak bereaksi, Via Vallen atau penyanyi lain akan kembali melakukan kesalahan serupa: “memperkaya diri memakai karya orang lain sekaligus membunuh ruh karya tersebut.”

Setahun sebelumnya, urusan membawakan ulang atau mengkover lagu juga pernah dipersoalkan vokalis Payung Teduh Muhammad Istiqamah. Walau Is, sapaan akrab sang vokalis, tak mengatakan Hanin Dhiya merusak ruh lagu “Akad,” perbincangan yang kemudian mengemuka sama saja: urusan izin, aturan-aturan mengenai hak cipta, dan royalti. Soal terakhir tak terelakkan mengingat popularitas video versi Hanin Dhiya melampaui klip resmi Payung Teduh di Youtube.

Dalam “Laris Manis Lagu Akad Bagaimana Hukumnya,” M Faisal Reza Irfan mengatakan pembicaraan soal budaya kover lagu tak bisa dilepaskan dari hak cipta yang melekat pada setiap musisi.

“Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) menempatkan hak cipta sebagai ‘hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Hakikatnya, hak cipta merupakan hak menyalin suatu ciptaan yang berlaku pada berbagai karya seni atau cipta,’” tulisnya.

Di mana ada hak cipta di situ ada pula hak moral dan hak ekonomi. Hak moral, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUHC 2014, meliputi hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kreator pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama samarannya, sampai mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, pemotongan, modifikasi, dan hal-hal lain yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi sang kreator.

Sedangkan hak ekonomi, termaktub dalam Pasal 9 UUHC, meliputi penerbitan, penggandaan dalam segala bentuk, adaptasi, aransemen, transformasi, pendistribusian, hingga penyiaran atas ciptaannya.
Dalam ungkapan yang lebih mudah dipahami, sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Wahana Musik Indonesia (WAMI) Irfan Aulia kepada Tirto, contoh nyata hak ekonomi antara lain, jika musik dipakai untuk bentuk lain semisal iklan atau film, pemakai lagu harus membayar kepada pemilik hak cipta. Sedangkan hak moralnya, nama pencipta lagu wajib dicantumkan.

Dalam hak ekonomi, juga ada yang disebut performing rights atau “hak eksklusif untuk menyiarkan, menampilkan, menayangkan, memutarkan komposisi atau karya lagu yang sudah dibuat kepada khalayak luas." Menurut Irfan, sejak UUHC disahkan, kampanye mengenai performing rights semakin gencar.




Lembaga Manajemen Kolektif
Penulis buku Nice Boy Don’t Write Rock N Roll Nuran Wibisono menjelaskan: idealnya, musisi yang mengkover karya orang lain membayar royalti kepada sang pencipta lagu. Namun, dengan catatan khusus terkait penggunannya—misalnya untuk kegiatan-kegiatan non komersial—proses itu lazim pula digratiskan. Adapun soal royalti performing rights, Pencipta lagu akan mendapatkan royalti tersebut melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang dibayar penyelenggara acara.

UUHC mendefiniskan LMK sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Di Indonesia, ada 8 LMK dibidang musik yang telah mendapat izin operasional dari pemerintah yaitu Royalti Anugrah Indonesia (RAI), Karya Cipta Indonesia (KAI), Wahana Musik Indonesia (WAMI), Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), PAPPRI, Anugrah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Anugrah Royalti Musik Indonesia (Armindo), Star Music Indonesia (SMI). Terkait penarikan dan distribusi royalti dikoordinasikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Saat seseorang hendak mengkover lagu orang lain, secara teknis, hal yang mesti dilakukan pertama kali adalah memperoleh izin atau lisensi dari musisi bersangkutan. UUHC menjelaskan, lisensi adalah “izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu.”

Setelah hak lisensi diberikan, penerima lisensi berkewajiban memberi royalti yang telah disepakati dalam perjanjian. Untuk besaran royalti yang diberikan, dilakukan sesuai perjanjian kedua belah pihak.

Namun, sebelum mendapatkan haknya, seorang pencipta atau pemegang hak cipta mesti lebih dulu tercatat sebagai anggota LMK. Hal itu diatur dalam Pasal 87 ayat 1 UUHC. “Untuk mendapatkan hak ekonomi, setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.”

Sepanjang Januari-Oktober 2018, LMKN—di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)—telah menerima dan menyalurkan royalti musik dan lagu sebesar Rp. 38,559,299,690. Tahun lalu, uang yang diterima dan disalurkan adalah sebesar Rp. 38,915,215,451.

“JRX dan kawan-kawan harusnya bisa mendapat hak mereka jika tergabung dalam LMK. Hak berupa royalti performing rights,” ujar Irfan Aulia soal ribut-ribut JRX vs Via Vallen.

Performing Right di Indonesia

Performing Right di Indonesia

Industri music tanah air belakangan ini mengalami penurunan akibat banyaknya pembajakan karya musisi tanah air dan juga maraknya download illegal dikalangan masyarakat. Bahkan saat ini,  karya lagu ciptaan musisi sangat mudah ditemui diberbagai tempat dan dapat dinikmati secara gratis. Lagu atau karya cipta musisi merupakan suatu hak kekayaan intelektual pencipta lagu dan berhak mendapakan royalty jika karya musiknya dinikmati untuk kepentingan profitable. Pada dasarnya, royalty yang dimaksud merupakan refleksi dari hak yang timbul dari hasil olah pikir / kreativitas manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna bagi kehidupan manusia. Namun hal ini terkadang kurang diketahui oleh para musisi yang notabennya memiliki hak kekayaan intelektual bahkan dikalangan masyarakat, pemutaran lagu hasil karya musisi untuk kepentingan usaha makin marak tanpa adanya royalty terhadap para pencipta lagu tersebut. Hal ini menunjukan masih kurangnya kesadaran masyarakat di Indonesia akan pentingnya Performing Rightss sebagai wujud pengakuan dan penghargaan atas semua usaha yang dilakukan oleh para musisi untuk mendapatkan hak eksklusif sehingga karyanya dapat dieksploitiasi serta dinikmati oleh masyarakat luas.
Performing Rightss merupakan wujud apresiasi atas kretivitas musisi untuk karya musisi berupa royalty. Performing Rightss sudah diatur pada UU Hak Kekayaan Intelektual yaitu UU No 19 Tahun 2002 atau yang selanjutnya disebut UUHKI. Hal ini didukung dengan Pasal 12 ayat 1 huruf d UUHKI yang menyebutkan bahwa lagu baik dengan atau tanpa teks merupakan kekayaan intelektual dari pencipta lagu tersebut. Mengkesampingkan pernyataan sebelum ini, lagu bisa jadi dibatasi hak intelektualnya ketika memang diputar untuk kepentingan pendidikan dan pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta hal ini  taerdapat pada Pasal 15 UUHKI huruf c romawi II. Dari keterangan di UUHKI jelas dapat disimpulkan bahwasanya pemutaran music atau lagu dapat dikenakan royalty jika terdapat kepentingan profitable. Adapun batasan-batasan yang diperbolehkan untuk pemutaran tanpa royalty terdapat pada Bagian kelima UUHKI dimana untuk kepentingan-kepentingan non profitable.
Selain Undang Undang No 19 Tahun 2002 tentang Kekayaan Intelektual, terdapat pula pengaturan yang mengatur lebih dalam soal Performing Rights yaitu UU Hak Cipta yakni UU No 28 Tahun 2014 atau yang disebut UUHC. Dalam UUHC, pada bagian ketiga terdapat pengaturan mengenai hak ekonomi dari karya cipta. Pada Pasal 8 dijelaskan bahwa Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Pada hal ini lagu merupakan salah satu ciptaan yang wajib mendapatkan hak ekonomi untuk pembuat lagu. Untuk Performing Rights sendiri juga diatur pada Pasal 9 dimana disebutkan bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan pertunjukan ciptaan atau pengumuman ciptaan dimana pemutaran lagu pada tempat profitable merupakan pertunjukan ciptaan karya musisi. Lebih lanjut diatur pada Pasal 9 ayat 2 yaitu Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan pada Pasal 9 ayat (2) disebutkan pula Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Pada penjelasan tersebut jelas tertulis bahwa penggunaan karya cipta dalam hal ini lagu yang digunakan untuk kepentingan komersial atau profitable diwajibkan izin penciptanya dan memberikan royalty. Adapun pengecualian dari pernyataan tersebut diatur pada Pasal 23 UUHC ayat 3 huruf b yakni Penyiaran atau Komunikasi kembali yang telah diberi izin oleh Lembaga Penyiaran yang pertama kali mendapatkan izin pertunjukan. Artinya ketika pemutaran lagu tersebut melalui lembaga penyiaran seperti radio atau tv yang diputar pada tempat usaha profitable maka pemilik usaha tidak diwajibkan untuk membayar royalty sebagai Performing Rightss.
Permasalahan yang timbul dari pernyataan diatas yaitu kurangnya kesadaran masyarakat pelaku usaha atau user tentang penerapan Performing Rights, lemahnya penegakan hukum terkait UUHC dimana pelanggarnya tidak ditindak tegas seperti penutupan tempat usaha yang tidak membayar Performing Rights, dan tentunya kurangnya pemahaman penegak hukum seperti kepolisian terkait Performing Rights yang diatur pada UUHC. Di Kabupaten Semarang sendiri terdapat banyak sekali tempat usaha yang seharusnya menerapkan Performing Rights seperti sentra karaoke di Bandungan, restoran di kota Ungaran, dan tentunya tempat tempat usaha lainnya yang menggunakan lagu sebagai sarana menghibur pelanggan sehingga menimbulkan efek profit bagi pemilik usaha. Adapun wadah untuk menyalurkan royalty sebagai performing risght di Indonesia ada 2 yaitu WAMI (Wahana Musik Indonesia) dan YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) adalah dua dari beberapa LMK di Indonesia yang saat ini aktif menghimpun dan mendistribusikan royalti dari hasil pemanfaatan Performing Rights untuk diteruskan kepada komposer/pencipta lagu dan publisher. Hukum Hak Cipta Indonesia juga telah mengatur mengenai Lembaga Manajeman Koletif (“LMK”) yakni YKCI dan WAMI. Pasal 87 UUHC mengatur sebagai berikut.
(1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
(2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
(3) Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan.
(4) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Dari penjelasan diatas maka semua tempat usaha yang bersifat profitable seperti restoran, hotel, tempat karaoke dll yang menggunakan lagu sebagai pengunjang usahanya sehingga mendapatkan keuntungan diwajibkan membayar royalty sebagai Performing Rights. Pada tempat usaha restoran yang memutar lagu ditempat pelanggannya makan harus dikenakan Performing Rights karena lagu sebagai sarana penghibur pelanggan agar merasa nyaman menyantap hidangan di restoran tersebut walaupun tidak secara langsung menimbulkan profit namun secara substansial, pemutaran lagu dapat membuat restoran tersebut nyaman sehingga pelanggan merasakan enjoy ketika menyantap hidangan dari restoran tersebut. semakin banyak pelanggan nyaman dan datang ke restoran tersebut semakin banyak pula keuntungan yang diterima owner restoran. Kemudian tempat karaoke pasti tidak lepas dari lagu bahkan video visual untuk pelanggan menyanyi. Tempat karaoke menggunakan lagu dan video clip sebagai penunjang utama usaha yang nantinya berakibat profit pada owner karaoke. Contoh tersebut merupakan gambaran jelas pentingnya Performing Rights bagi para musisi atau composer yang karyanya dipakai sebagai sarana penunjang usaha yang bersifat profitable.
Pembayaran royalty untuk Performing Rights sendiri sebenarnya tidak merugikan para pelaku usaha. Hal ini dikarenakan pelangganlah yang sebenarnya membayar royalty ke musisi karena memang music itu yang menikmati adalah para pelanggan. Cara yang paling efektif adalah menambahkan beban pajak untuk Performing Rights kepada setiap pelanggan yang mengunjungi tempat usaha untuk selanjutnya disalurkan kepada WAMI atau YKCI. Besaran royalty yang dibayar pun tergantung kesepakatan antara owner usaha dan musisi pencipta lagu. Rata-rata untuk lagu Indonesia kisaran 2juta dan lagu luar negeri kisaran 3juta. Adapun prosedur untuk membayar royalty adalah sebagai berikut sebagaimana diatur oleh UUHC 2014 adalah:
  1. Pengguna terdaftar sebagai anggota LMK;
  2. Pengguna membuat perjanjian dengan LMK untuk membayar royalti;
  3. LMK meminta laporan penggunaan dalam bentuk log-sheetprogramme returncue sheetdll dari para Pengguna. Selain itu bisa juga dengan sampling penggunaan musik;
  4. Pengguna membayar royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait melalui LMK.
  5. LMK menyerahkan royalti kepada Pencipta/Pemegang Hak Cipta Indonesia dengan cara transfer ke rekening atau diterima langsung oleh yang bersangkutan. Untuk Pemegang Hak Cipta Asing, penyerahan royalti dilakukan melalui LMK di negara tersebut untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
Sedangkan apabila Pencipta/Pemegang Hak Cipta tidak terdaftar sebagai anggota LMK, maka pelaku usaha wajib meminta izin dan membayar royalti secara langsung kepada Pencipta/Pemegang Hak Cipta.
Pentingnya penerapan Performing Rights yaitu agar para musisi di Indonesia tetap dapat berkarya dan mendapatkan hak eksklusif dari karyanya. Hal ini menjadi sangat penting mengingat saat ini industry music semakin lesu yang berimbas pada masa depan para musisi yang semakin tidak menentu. Bahkan, saat ini sumber pendapatan para musisi  bisa dibilang hanya dari honor manggung. Berbeda dengan 10 tahun lalu dimana pembajakan belum begitu marak karena masih sulitnya akses internet untuk mengunduh lagu. Musisi masih dapat menjual karyanya melalui bentuk fisik seperti CD atau kaset bahkan Ring Back Toon. Namun hal itu sudah berubah saat ini dimana mudahnya akses untuk mendapatkan lagu membuat karya para musisi sangat mudah dibajak. Oleh sebab itu pentingnya memperhatikan Performing Rights agar karya mereka dapat dihargai dan hak eksklusif sebagaimana diatur pada UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayaan Intelektual dan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dapat diterapkan dengan baik. Selain untuk para musisi, Performing Rightss juga bermanfaat bagi masyarakat luas yakni masyarakat mendapat pembelajaran bahwasannya hak cipta mereka dihargai di Indonesia sehingga tidak ada lagi keraguan bagi masyarakat yang akan berkarya sehingga usaha kreatif dapat semakin diminati khususnya dibidang seni music.

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...