Minggu, 28 Februari 2016

PRINSIP DASAR SUBROGATION


Prinsip Subrogation berhubungan dengan prinsip idemnitas, bahwa tertanggung yang memiliki asuransi tidak boleh mengambil keuntungan dari setiap kerugian yang dideritanya dari pihak ketiga.


Contoh :

Pada asuransi kendaraan bermotor
Mobil Toyota Innova bapak Ari yang memiliki asuransi ditabrak dari belakang oleh kendaraan bapak Soni pada saat berhenti di lampu merah dengan kecepatan tinggi. Sehingga menyebabkan mobil bagian belakang bapak Ari rusak parah. Bapak Ari selaku korban dapat meminta ganti rugi kepada 2 (dua) pihak, yaitu :
·                     Perusahaan Asuransi
·                     Ke pada bapak Soni selaku penabrak

Atas kasus diatas jika pak Ari meminta ganti rugi kepada dua belah pihak, sehingga menyebabkan pak Ari mendapatkan penggantian melebihi jumlah kerugian yang dia derita. Dalam artian tertanggung mendapatkan keuntungan penggantian kerugian dari kedua belah pihak.  Maka, pak Ari telah melanggar prinsip Indemnity.


Untuk memastikan agar prinsip Indemnity tersebut tidak dilanggar oleh tertanggung maka timbullah prinsip Subrogation yang memberikan hak kepada penanggung (perusahaan asuransi) untuk meminta penggantian ganti rugi tersebut dari pihak ketiga yang telah menyebabkan kerugian.
Pada dasarnya prinsip Subrogation merupakan suatu prinsip yang mengatur tentang hak penanggung yang telah menyelesaikan pembayaran ganti rugi yang diderita oleh tertanggung, maka secara otomatis hak yang dimiliki tertanggung untuk menuntut pihak ketiga yang menimbulkan kerugian atau kerusakan beralih ke penanggung (perusahaan asuransi).


Dasar Hukum Prinsip Subrogation

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 284
Penanggung yang telah membayar kerugian barang yang dipertanggungkan, memperoleh semua hak yang sekiranya dimiliki oleh tertanggung terhadap pihak ketiga berkenaan dengan kerugian itu; dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang mungkin merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga itu.


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1400
Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang.


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1401
Perpindahan itu terjadi karena persetujuan:
1.         Bila kreditur, dengan menerima pembayaran dan pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa dan hipotek-hipoteknya terhadap debitur; Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan waktu pembayaran.
2.     Bila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1402
Subrogasi terjadi karena undang-undang:
1.           Untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang debitur kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi dan pada kreditur tersebut pertama;
2.           Untuk seorang pembeli suatu barang tak bergerak, yang memakai uang harga barang tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada siapa barang itu diperikatkan dalam hipotek;
3.           Untuk seorang yang terikat untuk melunasi suatu utang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang lain dan berkepentingan untuk membayar utang itu;
4.           Untuk seorang ahli waris yang telah membayar utang-utang warisan dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peninggalan itu.

Jadi dengan adanya prinsip subrogasi, tertanggung hanya berhak atas ganti rugi sebesar nilai kerugianya, tertanggung (perusahaan asuransi) berhak mengambil alih setiap keuntungan yang diperoleh tertanggung dari pihak ketiga dari setiap kerugian yang dijamin dalam polis. Dan prinsip ini juga menjamin pihak penanggung melakukan tuntutan kepada pihak ketiga yang bertanggungjawab atas kerugian yang dijamin polis dalam usaha penanggung untuk mengurangi atau memperkecil kerugian yang terjadi, dengan catatan bahwa tuntutan itu dilakukan penanggung atas nama tertanggung.


Catatan :
·                     Subrogasi ini berlaku apabila kontrak asuransi yang bersangkutan adalah kontrak idemnitas.
·      Subrogasi diberlakukan dengan tujuan untuk mencegah tertanggung memperoleh penggantian lebih besar dari ganti rugi penuh (full indemnity), oleh sebab itu subrogasi dianggap sebagai pendamping indemnity(corollary of indemnity).


Minggu, 14 Februari 2016

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/9/2015 tanggal 28 September 2015 tentang Angka Pengenal Importir



Yth. Para Pengguna Jasa Kepabeanan dan Cukai di tempat,
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/9/2015 tanggal 28 September 2015 tentang Angka Pengenal Importir disampaikan:

1. Pasal 37 peraturan dimaksud menyatakan: “API-U dan API-P yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Importir (API) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84/M-DAG/PER/12/2012, dinyatakan tetap berlaku dan harus disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat tanggal 30 Juni 2016”.

2. Dihimbau kepada para pengguna jasa agar segera melakukan perubahan API-U dan API-P sesuai dengan ketentuan terbaru yang diikuti dengan Perubahan Data Nomor Identitas Kepabeanan (NIK) pada Aplikasi Registrasi Kepabeanan.

3. Berkaitan dengan butir 1 dan 2 di atas, terlampir kami sampaikan peraturan dimaksud dan tata cara perubahan data NIK untuk dapat dipahami dan dilaksanakan pada kesempatan pertama.

Klausula Eksonerasi

Eksonerasi atau exoneration (Bahasa Inggris) diartikan oleh I.P.M. Ranuhandoko B.A. dalam bukunya “Terminologi Hukum Inggris-Indonesia”yaitu “Membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab.Secara sederhana, klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula pengecualian kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian.
 
Pembatasan atau larangan penggunaan klausula eksonerasi ini dapat kita temui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”). Dalam UUPK ini klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk “klausula baku” yang dilarang oleh UU tersebut.
 
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Karena pada dasarnya, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - KUHPerdata). Dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
 
Antara lain contohnya dapat kita lihat pada praktik perbankan. Sebelum adanya UUPK, dalam memberikan kredit, bank mencantumkan syarat sepihak di mana ada klausula yang menyatakan bahwa Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh Debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh Bank untuk merubah suku  bunga Kredit, yang telah diterima oleh Debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.
 
Dengan adanya UUPK, bank diberikan larangan untuk menyatakan tunduknya debitur kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh Bank dalam masa perjanjian kredit. Sehingga apabila masih ada pencantuman klausula demikian pada perjanjian kredit Bank, maka perjanjian ini adalah DAPAT DIMINTAKAN PEMBATALAN oleh Debitur. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen (debitur) pengguna jasa perbankan. 

Senin, 01 Februari 2016

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

PROSEDUR VERZET
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
1.Pendahuluan
Bahwa menurut Pasal 129 HIR, Pasal 153 RBG yang mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek adalai sebagai berikut :
-Ayat (1) menegenai bentuk upaya hukumnya, yaitu perlawanan atau vezet,
-Ayat (2) mengenai tenggang waktunya.
-Ayat (3) mengatur cara pengajuan upaya hukumnya .
-Ayat (4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek.
-Ayat (5) ketentuan tentang pengajuan verzet terhadap verstek.
2.Bentuk Upaya Hukum Perlawanan (Verzet).
Berdasarkan Pasal 129 ayat (1) atau Pasal 83 Rv upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan verstek adalah perlawanan atau verzet. Atau biasa juga disebut Verzet tegen verstek atau perlawanan terhadap putusan verstek. Jadi apabila tergugat dijatuhkan putusan verstek sedang ia keberatan terhadap putusan tersebut maka ia dapat mengajukan upaya hukum perlawanan verzet bukan upaya hukum banding, dan jika diajukan upaya hukum banding maka upaya hukumnya menjadi cacat formil dan tidak dapat diterima.
3.Yang Berhak Mengajukan Perlawanan Dan Ditarik sebagai Terlawan.
Bahwa yang berhak mengajukan perlawanan (verzet) hanya tergugat, sedang kepada Penggugat tidak diberikan hak mengajukan perlawanan, ketentuan tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 524K/Sip/1975 tanggal 28 Pebruari 1980 Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 1979. Hal 203. Dimana verzet terhadap putusan verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak (tergugat) dalam perkara tidak oleh pihak ketiga. Adapun perluasan hak terhadap tergugat untuk mengajukan perlawanan adalah hanya ahli warisnya , apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan tergugat meninggal dunia, atau dapat diajukan oleh kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus sebagaimana digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo SEMA Nomor 1 Tahun 1971 dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994. Adapun yang dapat ditarik sebagai Terlawan terbatas hanya pada diiri penggugat semula sebagaimana dijelaskan Pasal 129 ayat (1) HIR dan ditegaskan pula Putusan Mahkamah Agung Nomor 434K/Pdt/1983.
Adapun upaya hukum putusan verstek bagi penggugat adalah banding.  Dan apabila penggugat mengajukan Banding, gugurlah hak Tergugat mengajukan Perlawanan (verzet). Dimeikian  Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 menegaskan.
4.Tenggang Waktu Mengajukan Perlawanan.
Menurut pasal 129 ayat (2) HIR tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (verzet) adalah 14 hari terhitung dari tanggal pemberitahuan putusan verstek oleh Jurusita Pengganti  kepada diri pribadi tergugat atau kuasanya. Dan apabila putusan tidak disampaikan kepada diri pribadi tergugat (in person), verzet masih bisa diajukan sampai hari ke 8 (delapan) sesudah anmaning.  kemudian apabila tengang waktu tersebut dilampoi maka mengakibatkan :
-Gugur hak tergugat mengajukan perlawanan.
-Tergugat dianggap menerima putusan verstek.
-Terhadapnya tertutup tertutup upaya hukum banding dan kasasi.
5.Proses Pemeriksaan Perlawanan
1.Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan verstek.
2.Perlawana terhadap verstek bukan perkara baru, melainkan berupa bantahan yang diajukan kepada ketidak benaran dalil gugatan dengan alasan verstek yang dijatuhkan keliru dan tidak benar, oleh karenannya Putusan MA Nomor 307K/Sip/1975 mengingatkan bahwa verzet terhadap verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru.
3.Perlawanan Mengakibatkan putusan verstek mentah kembali.
4.Pemeriksaan Perlawanan
a.Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula.
b.Proses Pemeriksaan dengan acara biasa.
c.Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan.
PROSEDUR DERDEN VERZET
1.Diajukan oleh pihak ketiga guna membela dan mempertahankan hak kepentingannya di pengadilan, bukan sebagai kewajiban.
2.Pelawan bukan subjek yang terlibat langsung sebagai pihak dalam putusan yang dilawan.
3.Pada derden verzet Pelawan harus menarik seluruh pihak yang terlibat dalam putusan yang di lawan, dan hal ini merupakan syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan, bila diabaikan mengandung cacat formal berupa error in persona yang dapat mengakibatkan putusan di N.O. (niet ont vankelijkverklaard ).
4.Tenggang waktu derden verzet dapat dikatakan luas tetapi juga dapat dikatakan sempit, karena tidak dibatasi oleh jumlah hari, minggu, bulan, dan bahkan tahun. yang membatasinya adalah eksekusi putusan. Kalau eksekusi itu cepat, maka cepat pula habisnya tenggang waktu untuk mengajukan derden verzet, apabila lambat maka lambat pula berakhirnya tenggang waktu untuk mengajukan derden verzet.
5.Derden Verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara baru, terpisah dari nomor perkara yang di lawan.
6.Karena Derden Verzet itu sebagai perkara baru, maka yang menjadi bahan pemeriksaan adalah perlawanan Pelawan, bila Terlawan membantah dalil Pelawan, maka Pelawan berkewajiban membuktikan dalilnya.

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...