Senin, 29 Desember 2014

KOMPILASI HUKUM ISLAM YANG MENGATUR PERCERAIAN



BAB XVII
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 113

Perkawinan dapat putus karena:
a) kematian,
b) perceraian, dan
c) atas putusan pengadilan.

Pasal 114

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1.         salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
2.         salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3.         salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4.         salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5.         salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
6.         antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7.         suami melanggar taklik talak;
8.         peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.

Pasal 118

Talak raj‘i adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

Pasal 119

(1)      Talak ba‘in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
(2)      Talak ba‘in shughra sebagaimana tersebut pada Ayat (1) adalah:
a. talak yang terjadi qabla ad-dukhul;
b. talak dengan tebusan atau khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 120

Talak ba‘in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila perikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‘da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.

Pasal 121

Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pasal 122

Talak bid‘i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal 123

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Pasal  124

Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.

Pasal  125

Li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami-istri untuk selama-lamanya.

Pasal 126

Li‘an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Pasal 127

Tata cara li‘an diatur sebagai berikut:
a.       suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata ,,laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”;
b.      istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata "tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila "tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar";
c.       tata cara pada Huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d.      Apabila tata cara pada Huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li‘an.

Pasal 128

Li‘an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.


Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian

Pasal 129

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 130

Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.

Pasal 131

(1)      Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2)      Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama, menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3)      Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(4)      Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh
(5)      Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 132

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
(2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 133

(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 Huruf b dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(2) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 134

Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 Huruf f dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri tersebut.

Pasal 135

Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 116 Huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 136

(1)      Selama berlangsung gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2)      Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
a.       menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.      menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 137

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal l 138

(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
(2) Panggilan untuk menghadiri sidang sebagaimana tersebut dalam Ayat (1) dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui lurah atau yang sederajat.
(4) Panggilan sebagai tersebut dalam Ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga hai sebelum sidang dibuka).
(5) Panggilan kepada tergugat dilampii dengan salinan surat gugatan.

Pasal 139

(1) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau beberapa surat kabar atau media massa seperti tersebut dalam ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 140

Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 Ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 141

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hai setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian.
(2) Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 116 Huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal 142

(1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami-istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
(2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

Pasal 143

(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 144

Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 145

Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 146

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 147

(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka Panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami-istri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan Surat Keterangan kepada masing masing suami-istri atau kuasanya bahwa putusan seperti tersebut pada Ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan, serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri berbeda dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah di Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam Ayat (1) menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

Pasal 148

(1) Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
(2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
(3) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasihat-nasihatnya.
(4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ,iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 131 Ayat (5).

(6)  Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau 'iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Mengurus atau Mendapatkan Label SNI

Berbicara soal produk, baik itu barang, makanan, atau minuman di sekitar kita mungkin tak terbayang jumlahnya. Jangankan yang dapat dilih...