BAB
XVII
PUTUSNYA
PERKAWINAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena:
a) kematian,
b) perceraian, dan
c) atas putusan pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1.
salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
2.
salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3.
salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
4.
salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5.
salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri;
6.
antara suami dan istri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7.
suami melanggar taklik talak;
8.
peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak raj‘i adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini suami
berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
Pasal 119
(1)
Talak ba‘in shughra adalah talak
yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam iddah.
(2)
Talak ba‘in shughra sebagaimana
tersebut pada Ayat (1) adalah:
a. talak yang terjadi
qabla ad-dukhul;
b. talak dengan tebusan
atau khuluk;
c. talak yang dijatuhkan
oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak ba‘in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali
apabila perikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain
dan kemudian terjadi perceraian ba‘da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut.
Pasal 122
Talak bid‘i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci
tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan.
Pasal 124
Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan
Pasal 116.
Pasal 125
Li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami-istri untuk
selama-lamanya.
Pasal 126
Li‘an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan
istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127
Tata cara li‘an diatur sebagai berikut:
a.
suami bersumpah empat kali dengan
kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima
dengan kata-kata ,,laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut dusta”;
b.
istri menolak tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata "tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
murka Allah atas dirinya bila "tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
benar";
c.
tata cara pada Huruf a dan b
tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d.
Apabila tata cara pada Huruf a
tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li‘an.
Pasal 128
Li‘an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan
Agama.
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan
kasasi.
Pasal 131
(1)
Pengadilan Agama yang bersangkutan
mempelajari permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya
tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2)
Setelah Pengadilan Agama tidak
berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam
rumah tangga, Pengadilan Agama, menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talak.
(3)
Setelah keputusan mempunyai
kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan
Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(4)
Bila suami tidak mengucapkan ikrar
talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama
tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak
suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh
(5)
Setelah sidang penyaksian ikrar
talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap
empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama
beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan
ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri, dan helai keempat disimpan
oleh Pengadilan Agama.
Pasal 132
(1)
Gugatan perceraian diajukan oleh
istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin suami.
(2)
Dalam hal tergugat bertempat
kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut
kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
(1)
Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam Pasal 116 Huruf b dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun
terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(2)
Gugatan dapat diterima apabila
tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah
kediaman bersama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 Huruf f
dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai
sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak
keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 116
Huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan
yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
(1)
Selama berlangsung gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan
bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami-istri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2)
Selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
a.
menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suami;
b.
menentukan hal-hal yang perlu
untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama
suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak istri.
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal
sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal l 138
(1)
Setiap kali diadakan sidang
Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun
tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
(2)
Panggilan untuk menghadiri sidang
sebagaimana tersebut dalam Ayat (1) dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agama.
(3)
Panggilan disampaikan kepada
pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai,
panggilan disampaikan melalui lurah atau yang sederajat.
(4)
Panggilan sebagai tersebut dalam
Ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga hai
sebelum sidang dibuka).
(5)
Panggilan kepada tergugat dilampii
dengan salinan surat gugatan.
Pasal 139
(1)
Apabila tempat kediaman tergugat
tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan
dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan
Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media
massa lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
(2)
Pengumuman melalui surat kabar
atau beberapa surat kabar atau media massa seperti tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman
pertama dan kedua.
(3)
Tenggang waktu antara panggilan
terakhir sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4)
Dalam hal sudah dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak
hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu
tanpa hak atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 Ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia
setempat.
Pasal 141
(1)
Pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hai setelah diterimanya
berkas atau surat gugatan perceraian.
(2)
Dalam menetapkan waktu sidang
gugatan perceraian perlu diperhatikan tentang waktu pemanggilan dan diterimanya
panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(3)
Apabila tergugat berada dalam
keadaan seperti tersebut dalam Pasal 116 Huruf b, sidang pemeriksaan gugatan
perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak
dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
(1)
Pada sidang pemeriksaan gugatan
perceraian, suami-istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
(2)
Dalam hal suami atau istri
mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang
bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 143
(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum
perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 146
(1)
Putusan mengenai gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2)
Suatu perceraian dianggap terjadi
beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 147
(1)
Setelah perkara perceraian itu
diputuskan, maka Panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan
tersebut kepada suami-istri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah
dari masing-masing yang bersangkutan.
(2)
Panitera Pengadilan Agama
berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri untuk diadakan pencatatan.
(3)
Panitera Pengadilan Agama
mengirimkan Surat Keterangan kepada masing masing suami-istri atau kuasanya
bahwa putusan seperti tersebut pada Ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4)
Panitera Pengadilan Agama membuat
catatan dalam ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan
bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya
perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan, serta tanda
tangan panitera.
(5)
Apabila Pegawai Pencatat Nikah
yang mewilayahi tempat tinggal istri berbeda dengan Pegawai Pencatat Nikah
tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dikirimkan pula kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan, dan
bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri salinan itu disampaikan
kepada Pegawai Pencatat Nikah di Jakarta.
(6)
Kelalaian mengirimkan salinan
putusan tersebut dalam Ayat (1) menjadi tanggung jawab panitera yang
bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami
atau istri atau keduanya.
Pasal 148
(1)
Seorang istri yang mengajukan
gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau
alasan-alasannya.
(2)
Pengadilan Agama
selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar
keterangannya masing-masing.
(3)
Dalam persidangan tersebut
Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasihat-nasihatnya.
(4)
Setelah kedua belah pihak sepakat
tentang besarnya ,iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan
penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang
Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding
dan kasasi.
(5)
Penyelesaian selanjutnya ditempuh
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 131 Ayat (5).
(6)
Dalam hal tidak tercapai
kesepakatan tentang besarnya tebusan atau 'iwadh, Pengadilan Agama memeriksa
dan memutus sebagai perkara biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar